WHAT THEY DON’T TALK ABOUT WHEN THEY TALK ABOUT LOVE (2013) : CURIOSITA TENTANG CINTA

5/05/2013 04:45:00 PM



WHAT THEY DON’T TALK ABOUT WHEN THEY TALK ABOUT LOVE 
2013 / 110 Minutes / Mouly Surya / Indonesia / 2.39:1 / R

Setelah berhasil mengumpulkan hype yang menyebar di kalangan para pecinta film di tanah air berkat prestasinya sebagai film Indonesia pertama yang berhasil lolos seleksi di Sundance Film Festival, What They Don’t Talk About When They Talk About Love akhirnya dirilis secara terbatas di bioskop tanah kelahirannya sendiri. 



Ketika The Raid berhasil memenangkan penghargaan Midnight Madness di Toronto International Film Festival tahun 2011 silam, Indonesia sempat berbangga karena industri perfilmannya akhirnya berhasil dikenal dunia, terlebih lagi, salah satu pemain utama dalam industri Hollywood, Sony Pictures--melalui divisi Sony Pictures Classics-nya--telah membeli hak edar film tersebut untuk ditayangkan di Amerika dan belahan dunia lainnya. Tetapi di sisi lain, kaum pesimistik-yang-tidak-pernah-mau-mengakui-kehebatan-negerinya-sendiri masih saja berbuat ulah. Mereka mempermasalahkan sang sutradara, yakni Gareth Evans sendiri, yang bukan anak bangsa. Mereka bilang “Wajar, yang buat kan bule!”. Mereka hanya mempermasalahkan seorang saja, di luar seluruh jajaran cast dan kru-nya yang benar-benar asli dari Indonesia. Keterlaluan? Jelas. 

Namun di tahun 2013 ini, lidah mereka tidak dapat berulah. Mouly Surya, salah seorang sineas kelahiran Indonesia yang menggebrak industri perfilman tanah air lewat debut karyanya, Fiksi (2008), kembali berhasil mengharumkan nama bangsa di mana film teranyarnya, What They Don’t Talk About When They Talk About Love atau yang bisa disingkat Don’t Talk About Love berhasil lolos seleksi di salah satu festival film kelas dunia: Sundance Film Festival. Untungnya, Mouly adalah sineas Indonesia asli yang fasih berbahasa Indonesia sehingga tidak ada lagi alibi ngalur-ngidul untuk menuding kalau film ini bukan hasil karya anak bangsa. 


Diskusi Sinematik Tentang Cinta

Cinta adalah topik yang universal. Sudah beribu-ribu film, beribu-ribu lagu, beribu-ribu tulisan ntah dalam bentuk buku atau artikel elektronik yang dirilis tiap tahunnya selalu berbicara tentang cinta.  Bahkan sudah dapat dikatakan mustahil kalau suatu film, lagu, cerita dan tulisan yang bagus tidak mengandung unsur cinta sama sekali. Cinta itu layaknya bumbu garam di dalam masakan, layaknya gula di dalam adonan kue. Cinta selalu memberi kelezatan dalam sebuah karya dan juga kehidupan. Manusia menyukai cinta. Penonton juga menyukainya. Semua makhluk menyukainya. Hidup membutuhkan oksigen dan cinta untuk tetap berlangsung. Cinta adalah hak asasi seluruh penghuni bumi ini, bagaimanapun bentuknya. Cinta telah ada sejak kita dan seluruh penghuni semesta lahir. 

Dan itulah yang ingin digarisbawahi oleh film ini. Mouly Surya berusaha mempertegas bahwa cinta adalah hak asasi seluruh penghuni bumi, tanpa imbuhan kata kecuali dan segala tetek-bengeknya. Kaum cacat memang jarang diangkat ke dalam medium film selain hanya difungsikan sebagai penguras air mata karena penderitaannya yang begitu dieksploitasi sehabis-habisan. Tetapi tidak dengan film ini. Kaum cacat justru dijadikan sebagai penggerak plotnya dan seluruh jajaran karakter utamanya juga hanya diisi oleh mereka saja. Terdengar mustahil memang, namun sesuai kata Stanley Kubrick: if it can be written or thought, it can be filmed. Tidak ada yang mustahil di dunia perfilman.


Diana (Karina Salim) adalah seorang remaja penderita low vision yang “dibuang” oleh ibunya di sebuah sekolah penampungan anak-anak cacat. Di sana, ia bersahabat karib dengan Fitri (Ayushita), teman sekamarnya, yang pada saat itu sedang merajut cinta dengan teman imajinasinya, Pak Dokter (Nicholas Saputra). Sedangkan Diana sendiri juga tengah jatuh cinta dengan murid baru yang menderita kebutaan, Andhika (Anggun Priambodo). Film ini menceritakan bagaimana proses kisah cinta dan kehidupan mereka dari awal sampai akhir. 

Diluar premise-nya yang cliche tidak karuan itu, Don’t Talk About Love justru dapat dikatakan sebagai salah satu film Indonesia terbaik yang pernah dibuat--or at least, yang pernah saya tonton. Dan itu bukan tanpa alasan. Sejak awal pembuka film yang begitu hangat dan charming, penonton sudah dibuat terpukau dengan sajian frame demi frame yang luar biasa cantik arahan Yunus Pasolang, alunan musik yang selembut sutra, dan spontan pada saat itu juga, penonton telah dibuat antusias seyakin-yakinnya bahwa Don’t Talk About Love telah menyimpan berjuta keajaiban dan keindahan yang siap menghadang di menit-menit berikutnya. 


Menyelami Kekuatan Takdir, Konsistensi Hati, dan Kehidupan

Gaya narasi-nya yang lambat, terkadang surealis, dan minim dialog juga sesuai, terjalin sangat sempurna dengan plot yang ia usung. Para penonton tidak hanya diajak untuk memahami apa yang tengah terjadi di layar lewat gerak-gerik karakternya yang ekspresif itu, tetapi juga secara tidak langsung diajak untuk ikut merasakan kehidupan para penderita kebutaan dan bisu-tuli; bagaimana penderita kebutaan menterjemahkan suara-suara serta sentuhan sebagai mata mereka dan mimpi-mimpi mereka tentang gambar-gambar indah yang mendukung suara dan sentuhan tersebut. Dan bagaimana penderita bisu-tuli berusaha mencerna segala hal yang terjadi dengan hanya mengandalkan kemampuan visual sebagai telinga mereka seraya memimpikan suara-suara detail yang menjelaskan gambar-gambar cantik tersebut.

Tetapi Mouly Surya tidak menginginkan penonton mendapatkan hal yang instan seperti itu hanya oleh karena kemampuan visual dan pendengaran mereka berfungsi baik. Beliau ingin penontonnya untuk ikut merasakan susahnya-mengerti-dunia seperti yang dirasakan semua karakter dalam film ini melalui gaya penuturan cerita yang amat tidak biasa itu, di mana terkadang suguhan visual di layar sanggup mengutarakan seribu bahasa tanpa kita sadari dan terkadang suara-suara yang dilontarkan sanggup mengutarakan gambar-gambar yang tak kasat mata. Dan jujur, itu sangat cerdas karena gaya narasi yang eksperimental seperti ini justru sudah ada dan sering digunakan di dalam film-film arthouse, namun penggunaannya jarang bisa seefektif ini.


Salah satu scene favorit saya adalah ketika Mouly Surya membuat penontonnya seakan-akan menderita ketulian secara mendadak sekitar 5 menitan di pertengahan film. Dan itu luar biasa, you know, di mana sebuah film telah berhasil membuat para penonton ikut terjerumus ke dalam dunianya dan membuat penonton ikut merasakan kepanikan serta ketidaknyamanan yang sejatinya juga dialami oleh para karakter dalam film ini. Gampangannya, para penonton dibuat tidak dapat mendengar apapun padahal adegan di layar seharusnya mengeluarkan banyak suara. Dan bagaimana Mouly Surya mengarahkan adegan tersebut adalah sesuatu yang layak untuk diapresiasi. It’s like a movie experience* that much more advance than 4D but also much less simpler in the making. *) Asal penonton di sekitar anda tidak ribut sendiri

Di departemen akting, trio Nicholas Saputra, Ayushita, dan Karina Salim masing-masing memberikan performa yang luar biasa meyakinkan untuk karakter-karakter yang mereka perankan, secara mengkasting penderita cacat tubuh untuk melakoni film ini adalah sebuah hal yang mustahil (kecuali untuk keperluan cameo). Tapi di antara mereka bertiga, Ayushita lah yang dapat dikatakan yang terbaik. Karakter Fitri yang ia perankan berhasil menghidupkan segala imajinasi yang sekiranya telah Mouly tuangkan ke dalam naskahnya perihal karakter tersebut dan menjadi roda utama penggerak plot film. Namun untuk urusan studi karakter, Mouly memberikan screen time yang cukup bagi ketiga karakter sentral ini untuk berkembang ke arah kompleksitas yang sangat menarik untuk disimak. 


And speaking of Characters, ada pula beberapa potong scene pengandaian yang diselipkan di dalam film ini (awalnya dapat dikatakan seperti scene random namun lambat laun mulai terlihat benang merahnya) yang dapat dikatakan unik dan sanggup memperkuat base ceritanya. Seperti seandainya mereka tidak menderita cacat, bagaimana kisah cinta mereka berlanjut? Apakah bisa sespesial sekarang ini? Scene ini dapat dikatakan sebagai usaha Mouly untuk membuat para karakter utamanya menjadi lebih natural di mana mereka juga bisa bermimpi dan hasilnya pun cukup mengejutkan karena kekuatan cerita justru menjadi lebih solid dan menyentuh hati, dan mengajarkan bahwa kita tidak dapat menyalahi takdir. Ini adalah rencana Tuhan untuk membuat dunia menjadi lebih berwarna. 

Di luar kisah cinta yang menyentuh tanpa harus berakting melodramatis, Don’t Talk About Love juga masih sempat memberikan sedikit bocoran mengenai tata hidup dan rutinitas agar alur film tidak terlalu monoton melulu tentang cinta. Ah tentu saja bumbu penyedap ini tidak dihadirkan untuk sekedar mengisi durasi. Aksesoris cerita ini sukses mengubah pengertian penonton bahwa kaum cacat tidak sampai serapuh yang dibayangkan, membuat film ini--ntah bagaimana caranya--menjadi lebih manusiawi, dan jelas telah menjadi nilai plus tersendiri untuk film ini secara keseluruhan.


Overall, Don’t Talk About Love adalah film Indonesia yang paling berani, paling unik, paling jujur, paling indah dan paling thought-provoking yang pernah saya saksikan. Mouly Surya tidak peduli kalau film ini akan berjaya atau tidak di tangga box office. Ini adalah sebuah film romance tanpa omong kosong, sebuah diskusi sinematik tentang cinta yang disusun dengan penuh passion yang tulus, dengan mengusung cita-cita besar untuk membuka pandangan para penontonnya tanpa bersikap mencekoki mereka dengan pesan moral instan, dan dikomposisikan dengan cita rasa seni yang memukau. Dan semua itu pada akhirnya akan mengerucut membentuk sebuah pertanyaan dan kesimpulan yang terdiri dari hanya 3 kata cliche : apa itu cinta? Well, good luck answering that.



You Might Also Like

1 comments

Just do it.