MENCARI HILAL (2015): PETUALANGAN SPIRITUAL MENCARI KEDAMAIAN
7/31/2015 09:49:00 PM
Ketika lampu studio dinyalakan dan lagu OST karya Charlie Meliala, Noe Letto, dan Leilani Hermiasih yang epik itu berkumandang melengkapi kredit, saya sempat mencuri dengar celotehan tetangga saya. Dia bilang ke temannya, lengkap dengan lekukan senyum puas dan mata berkaca-kaca, kalau film Mencari Hilal itu seperti ‘bumi dan langit’ apabila dibandingkan dengan film-film religi yang sering diproduksi oleh industri film Indonesia.
Tanpa berniat untuk mengada-ada, apa yang disuguhkan Mencari Hilal memang adalah kebalikan dari itu semua. Tidak ada pesan moral yang menggurui, tidak ada cerita cinta yang rumit sampai harus melalang-buana ke luar negeri, tidak ada karakter-karakter dangkal yang senantiasa menghias durasi. Semua materi yang menghias layar adalah bagaimana sebuah film religi seharusnya dibuat: menghibur dan berdampak besar pada penontonnya.
Film ini berkisah tentang Mahmud (Deddy Sutomo) seorang kiai yang begitu taat pada ajaran-ajaran Islam dan menerapkannya di kehidupan sehari-hari. Menurutnya, penerapan ajaran-ajaran Islam harus dijadikan sebagai prioritas utama dan berada di atas segala hak dan kewajibannya, meskipun itu harus merugikan keluarga dan orang-orang di sekitarnya. Beberapa saat menjelang hari raya Idul Fitri, beliau memutuskan untuk mencari hilal, bulan sabit yang menandakan awal dari tahun baru Islam.
Tetapi masalah kesehatan Mahmud yang memprihatinkan membuat putrinya, Halida (Erythrina Baskoro), melarangnya untuk pergi mencari Hilal, kecuali beliau mau ditemani oleh putra bungsunya, Heli (Oka Antara), yang tidak pernah pulang ke rumah sejak ibunya meninggal. Akibat desakan dari kepentingan pribadi mereka masing-masing, kedua orang yang mempunyai pemahaman yang sangat berbeda bagaikan bumi dan langit tentang agama ini pun memutuskan untuk pergi bersama-sama mencari Hilal, sembari mengharapkan hasil akhir yang sesuai dengan keinginan mereka.
Mencari Hilal jelas bukan film pertama yang berani untuk keluar dari rumus film religi sukses di Indonesia. Salah satunya, yang bisa dijadikan sebagai bahan perbandingan paling dekat dengan film ini, adalah Tanda Tanya (2011) yang kebetulan juga diproduksi oleh Dapur Film milik Hanung Bramantyo. Kedua film ini sama-sama mengangkat tema tentang perbedaan dan isu perselisihan antar suku dan agama, hanya saja, Mencari Hilal lebih banyak bermain di lingkup pembahasan yang jauh lebih sederhana, yakni perselisihan antara ayah dan anak; antara seorang kiai yang fanatik terhadap ajaran agamanya dan putranya yang lebih mengandalkan teknik berpikir logis dalam menyelesaikan masalahnya. Hanya berbekal kedua tokoh sentral ini, Ismael Basbeth bersama tim penulis naskah Salman Aristo dan Bagus Bramanti telah berhasil mengajak kedua belah pihak mayoritas penontonnya yang menyaksikan film ini: umat Islam dan penonton non-muslim, untuk ikut masuk ke dalam sebuah petualangan spiritual tanpa membuat mereka merasa dikhianati ataupun teralienasi.
Sayangnya, konsep brilian ini kurang dapat tereksekusi dengan baik di layar. Drama hubungan ayah dan anak yang terselip dalam kisah road trip Mencari Hilal cenderung tenggelam dalam ambisi Salman Aristo, Bagus Bramanti, dan Ismael Basbeth sendiri. Di pertengahan film, keasikan Mencari Hilal mulai luntur perlahan-lahan. Film ini mulai terlalu banyak bermain-main dengan sindiran terhadap praktik penyelewengan ajaran agama Islam yang dilakukan oleh masyarakat kita dan juga lontaran dialog-dialog sarkasme yang tak henti-hentinya menyindir problematika sosial yang memang tengah memanas di Indonesia. Belum lagi kemunculan banyak karakter-karakter baru semakin menenggelamkan perkembangan karakter sentral dan membuat petualangan Mahmud dan Heli tidak lagi relevan.
Alhasil, daripada sebuah paket lengkap perjalanan spiritual yang seru dari awal sampai akhir, Mencari Hilal justru kembali terjerumus ke dalam penggolongan penonton yang sebenarnya sudah berhasil ia lalui di awal hingga pertengahan film. Penonton muslim pun akan merasa lebih dekat dengan hal-hal yang disajikan oleh film ini, sementara penonton lain (non-muslim) yang tentunya lebih meletakkan perhatiannya pada alur cerita dan perubahan karakter utamanya, kurang mendapat perhatian lebih.
Untunglah, Mencari Hilal berhasil mengelabuhi penonton dari kelemahan-kelemahannya itu dengan akting aktor senior Deddy Sutomo dan Oka Antara yang berhasil menghidupkan chemistry ayah dan anak mereka dengan begitu kuat dan meyakinkan, dialog-dialog gurih yang mengalir natural sepanjang film, dan kualitas teknis yang juara. Tata sinematografi arahan Satria Kurnianto sukses merangkum imajinasi Ismael Basbeth dengan tetap mempertahankan gaya nyentrik sang sutradara dalam sebuah komposisi lanskap yang tidak hanya sedap dipandang, tetapi juga menambah senyawa filosofis dan bahasa visual yang kaya rasa pada adegan-adegan penting dalam film ini. Kekuatan sinematografinya sangat tampak di penghujung kisah Mencari Hilal yang sangat indah dan powerful itu. Konklusi tersebut tidak hanya berperan sebagai akhir yang memuaskan pada kisah perjalanan spiritual Mahmud, tetapi juga berperan sebagai twist yang akan menampar penonton siapapun dengan pertunjukan rasa cinta ayah kepada anaknya yang tidak dapat ia tampilkan secara terang-terangan. Dan hebatnya, semua itu ditampilkan nyaris tanpa dialog, hanya mengandalkan kekuatan visual dan ambience.
Overall, meski pada akhirnya Mencari Hilal tidak dapat sepenuhnya memuaskan seluruh kalangan penontonnya, Ismael Basbeth bersama timnya telah berhasil menciptakan sebuah film religi yang begitu berani dalam menyampaikan pesan dan kritikan pedasnya melalui suguhan kekuatan audio-visual dan teknik bercerita yang sangat muthakir. Dan itu sudah lebih dari cukup untuk menambah jajaran film berkualitas dalam filmografi sinema Indonesia.[]
Rating: 3.5 out of 5 Stars
2 comments
wah sudah lama ya akhirnya Anda ngeblog lagi.
ReplyDeleteBolehkah kita berbagi link ?
Link blog review film saya di [iza-anwar.blogspot.com]
Terima Kasih sebelumnya...
Boleh bro. Iya nih kangen nge-blog. hahaha.
ReplyDeleteJust do it.