JILBAB TRAVELER LOVE SPARKS IN KOREA (2016) REVIEW: PETUALANGAN SEORANG PENJELAJAH BERJILBAB MERAMPUNGKAN KISAH CINTANYA

7/30/2016 12:52:00 PM



Verdict: bagi yang mencari tontonan drama religi yang penuh dengan ajaran Islam, Jilbab Traveler jelas bukan film untuk anda. Karena semenjak bingkai pembuka hingga penutup, film ini memang telah dirancang secara khusus untuk tampil seindah dan seringan mungkin dalam menuturkan kisah cinta lintas benuanya. Dan di sinilah, Jilbab Traveler tampil sangat maksimal.



Film Jilbab Traveler: Love Sparks In Korea dibuka dan dinarasikan oleh seorang penjelajah perempuan bernama Rania (Bunga Citra Lestari) yang berasal dari keluarga Islam yang taat. Sewaktu remaja, Rania mengalami gegar otak dan membuatnya tidak dapat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Demi mengembalikan semangat putrinya, sang ayah meminta Rania untuk menjadi seorang penjelajah dan berkeliling melihat dunia. 

Suatu ketika, Rania bertemu dengan seorang pemuda dari Korea, Hyun Geun (Morgan Oey) dan pemandunya, Alvin (Ringgo Agus Rahman) di Baluran, tempat di mana ayah dan ibu Rania bertemu untuk pertama kalinya. Setelah mengetahui bahwa Rania adalah seorang Jilbab Traveler yang terkenal, Hyun Geun dan Alvin memintanya untuk mengantar mereka ke Kawah Ijen. Di sepanjang perjalanan itu, Hyun Geun jatuh cinta pada Rania, meski ia tahu bahwa Rania sedang dekat dengan Ilham (Giring Ganesha), pria pilihan orang tuanya.

Rania kemudian dihadapkan pada pilihan tersulit dalam hidupnya ketika ia mendapat undangan menjadi penulis tamu di Korea Selatan, tempat Hyun Geun tinggal dan menunggu perempuan yang dicintainya.


Terlepas dari pemilihan judul yang mengalienasi itu, Jilbab Traveler, pada dasarnya, adalah sebuah kisah cinta dan pencarian jati diri yang bersifat universal dan dapat dipahami oleh semua kalangan penonton. Film ini rupanya lebih banyak mengedepankan sub-judul ‘Love Sparks in Korea’-nya, dibanding penggalian karakter seorang Jilbab Traveler beserta dengan ajaran-ajaran Islamnya. Elemen-elemen religi yang terkesan kuat itu justru lebih banyak digunakan sebagai pendamping latar belakang karakter-karakternya, bukan menjadi poin cerita yang menggerakan keseluruhan plot-nya. Sifat netral tersebut, sayangnya, juga berdampak kurang baik terhadap penonton yang menaruh ekspetasi lebih bahwa film yang ditontonnya ini adalah film yang sarat akan pesan-pesan religi yang menginspirasi.


Di babak pertama, Jilbab Traveler terasa sudah berada di jalan yang benar. Penonton diperkenalkan dengan sosok Rania sebagai seorang traveler berjilbab yang sukses berkeliling dunia, bertukar paham Islamiah dengan orang asing, dan telah mencetak buku-buku laris yang merekam petualangannya itu, terlepas dari pendidikannya yang tidak tinggi. Kemudian, penonton juga disuguhi perang batin Rania sebagai seorang perempuan Islam yang ingin berbakti pada keluarganya, sementara di sisi lain, ia juga ingin menjadi seorang perempuan yang bisa mengubah dunia. Semua itu dirangkum dengan baik oleh sutradara Guntur Soeharjanto dan sanggup menjanjikan guliran cerita yang berpotensi akan sangat emosional di babak kedua dan ketiganya. 

Tetapi sayangnya, potensi-potensi itu mulai tenggelam ketika film ini mulai berfokus menceritakan bagian love sparks in Korea-nya. Kisah cinta rumit antara karakter Rania-Ilham-Hyun Geun dan Rania-Hyun Geun-Son Ryung di Korea justru mencuri screen time yang seharusnya bisa disisihkan untuk menampilkan sosok Jilbab Traveler ketika ia tengah beraksi melakukan petualangannya itu. Film ini terlalu sibuk menceritakan karakter-karakter pendukung seperti Son Ryung, kekasih Hyun Geun di Korea, keluarga Rania di Indonesia yang terus mendorong Rania untuk menikah dengan Ilham, hingga karakter Alvin yang lebih banyak mengganggu daripada tampil melucu.


Alhasil, Jilbab Traveler berakhir menjadi film roman melalang buana seperti kebanyakan film blockbuster Indonesia lainnya dan mengesampingkan semua potensi kedalaman karakter dan budaya yang telah dijanjikan di awal film. Bahkan lokasi Korea pun sebenarnya tidak mempunyai kelebihan apa-apa selain untuk shot-shot canik yang memberi kesan film blockbuster mahal dan untuk mengikuti demand atas hal-hal berbau Korea yang sedang tinggi-tingginya di Indonesia.




Untung saja, di samping kekurangan-kekurangannya itu, Jilbab Traveler masih sanggup menjadi film yang cukup enjoyable untuk dinikmati. Tidak hanya sekedar menjual tampang, eksekusi film ini bisa dibilang sangat baik. Pemilihan set-set tempatnya, di luar penting atau tidaknya, sukses menunjang kecantikan Korea yang ingin ditampilkan dengan sisipan narasi yang mengalir mulus. Shot-shot cantik serta perancangan adegannya juga berhasil mensinyalir bahwa film ini adalah film blockbuster yang dibuat dengan usaha yang tidak main-main.

Akting Bunga Citra Lestari dan Morgan Oey sebagai Rania dan Hyun Geun juga mampu memberi kedalaman tersendiri dalam karakter-karakter mereka di film Jilbab Traveller. Bunga Citra Lestari berhasil menampilkan sosok Rania yang cerdas dan teguh, meski di balik topengnya itu, ia rapuh dan kebingungan menentukan jalan hidupnya, apakah ia harus mengikuti kata hati atau menyenangkan keluarganya. Morgan Oey, meski sekilas tampak miscast sebagai Hyun Geun (mengingat ia adalah aktor Indonesia berdarah Cina), tampil cukup meyakinkan sebagai love interest Rania yang merupakan orang asli Korea. Cara ia melafalkan bahasa Indonesia dengan canggung ataupun penuturan bahasa Korea-nya sama sekali tidak menimbulkan gelak tawa dari penonton, mengingat bagian aksen adalah salah satu bagian tersulit bagi semua aktor terlebih ketika ia memerankan karakter orang asing.  




Overall, bagi yang mencari tontonan drama religi yang penuh dengan ajaran Islam, Jilbab Traveler jelas bukan film untuk anda. Karena semenjak bingkai pembuka hingga penutup, film ini memang telah dirancang secara khusus untuk tampil seindah dan seringan mungkin dalam menuturkan kisah cinta lintas benuanya. Dan di sinilah, Jilbab Traveler tampil sangat maksimal.

Rating: 3 out of 5 Stars


You Might Also Like

1 comments

Just do it.