PACIFIC RIM (2013) : SCALE OVER SUBSTANCE

7/22/2013 10:17:00 PM


2013 / Warner Bros. Pictures / US / 131 Minutes / Guillermo del Toro / 1.85:1 / PG-13 

Guillermo del Toro memang bukan nama yang sering kita baca bersamaan dengan gelar "directed by" di depannya. Mungkin total hanya ada 8 film yang pernah disutradarainya, termasuk film terbarunya, Pacific Rim. Tetapi di antara para geeks, fanboys, pecinta film dan bahkan para petinggi studio sekalipun, del Toro adalah sosok yang sangat dihormati. Imajinasi dan keatifitasnya yang tak terbatas telah bertanggung jawab besar atas kesuksesan film-film animasi DreamWorks di mana ia sering duduk di kursi produser dan berperan sebagai creative consultants, ditambah lagi dengan film-film horror supranatural populer yang diproduserinya seperti The Orphanage, Mama, Don’t be Afraid of the Dark, sampai film aksi petualangan fantasi berkelas seperti The Hobbit Trilogy yang hampir disutradarainya, Hellboy 1-2, dan Pan's Labyrinth yang telah menganugerahinya nominasi piala Oscar. He got all that under his belt. 
Namun, ketika trailer film terbarunya, Pacific Rim, dirilis oleh tim marketing Warner Bros., banyak yang mulai meragukan kredibilitas del Toro sebagai seorang sineas A-lister. Bahkan beberapa orang sempat bertindak ekstrim, menghina bahwa beliau hanya tergiur kesuksesan Transformers dan menjiplaknya mentah-mentah. Ya semua ini memang bukan tanpa alasan. Dari sudut pandang manapun, mulai dari design robot sampai gaya adegan aksinya, Pacific Rim memang terlihat seperti sekuel-sekuel Transformers besutan Michael Bay yang telah berjasa besar dalam evolusi film blockbuster yang kini hampir semuanya selalu bertema "menyelamatkan dunia dengan menghancurkan dunia". So, di luar segala buzz negatif yang senantiasa mengitari film ini jauh sebelum perilisannya, apakah film ini akhirnya terpuruk seperti yang diekspetasikan oleh masyarakat?



Premise Umum, Eksekusi Brilian.

Film dibuka dengan narasi singkat dari Raleigh Becket (Charlie Hunnam) mengenai awal mula peperangan antara sekelompok monster bernama Kaiju dengan manusia yang terus berlangsung selama bertahun-tahun. Raleigh sendiri adalah seorang mantan pilot Jaegers, sebutan robot raksasa yang dijadikan sebagai senjata utama untuk melawan Kaiju, yang mendadak dipanggil untuk bertugas kembali oleh atasannya, Marshall Pentecost (Idris Elba). Usut punya usut, departemen Jaegers ternyata sedang berada di ujung tanduk karena jumlah dan serangan dari para Kaiju yang semakin mengganas tidak sebanding dengan kekuatan para Jaegers dan juga keahlian para pilotnya dalam mengendalikan mereka. Namun satu-dua perkecualian membuat Raleigh dan partnernya, Mako Mori (Rinko Kikuchi), bersama dengan Jaegers tua bernama Gypsy Danger, menjadi satu-satunya harapan manusia untuk memenangkan peperangan ini.

Dilihat dari segi premise-nya, Pacific Rim memang tidak memiliki keistimewaan ataupun inovasi yang groundbreaking dalam genre science fiction / post apocalypse. Bahkan film ini juga tidak jauh berbeda dengan film-film invasi allien rekaan hollywood, katakanlah Transformers, atau The Avengers yang juga sama-sama menceritakan bagaimana perjuangan manusia melawan alien. It’s just been-there-done-that kind of stuff. Tetapi yang membuat Pacific Rim begitu istimewa adalah bagaimana cara del Toro mengemas dan mengembangkan premise basi tersebut menjadi sebuah tontonan yang sangat asyik dari awal sampai akhir. 



Semenjak opening sequence-nya, Pacific Rim sudah memikat. Del Toro seakan telah menciptakan dunia masa depan sendiri yang besar--seperti kebanyakan film-film yang diproduksinya--dengan kualitas narasi yang cukup solid dalam menceritakan main story-nya, selingan bumbu side story yang manis, dan juga polesan detail-detailnya yang menarik seputar kaiju, jaeger, militer, dan kondisi kehidupan sosial-budaya manusia paska serangan para Kaiju yang kesemuanya diaduk rata dalam durasinya yang hanya 2 jam itu. 

Detil seperti ini memang terlihat sepele, namun tanpa disadari hal-hal seperti inilah yang memiliki peran sangat krusial dan sering dilupakan oleh penulis naskah ataupun sineas spesialis film-film blockbuster. Detil seperti inilah yang membuat penonton menjadi lebih mudah terkoneksi dengan ide yang dipresentasikan del Toro. Penonton dibuat merasa sangat ter-involved secara psikologis dalam jalinan cerita perjuangan para karakternya membasmi para Kaiju, ikut menikmati kemenangan para protagonis-nya, ikut bersimpati atas kekalahan mereka, ataupun ikut merasa terpukau oleh kehebatan para Jaegers dan Kaiju. Feel seperti ini, sense of wonder sekuat itu, jelas sudah sangat jarang ditemui di film-film blockbuster jaman sekarang yang lebih senang mengobral efek visual tanpa penopang narasi yang bagus. 



Teknik Visual Sama, Improvisasi Brilian.

Another splotlight-nya jelas terletak pada adegan aksinya yang sangat dahsyat. At first glance, visual effects canggih memang terlihat sebagai pemegang peran utama dalam kemegahan setengah durasi film ini. Dan itu tidak salah. Secara teknis, Pacific Rim berhasil memberi sajian efek visual dan sound editing yang sangat bagus dan memukau walau obviously apa yang disajikan di sini bukanlah hal yang baru yang dapat meninggalkan kesan mind-blown seperti ketika Transformers dirilis tahun 2007 lalu. Tim Visual Effects-nya pun bahkan dapat dikatakan cenderung “tidak percaya diri” dan cenderung “berhemat” karena kebanyakan scene CGI-heavy-nya mengambil setting malam hari. Lebih gelap maka lebih sedikit detil yang harus dibuat.

Namun apabila kita mau berpikir sedikit lebih dalam, yang membuat seluruh battle scene Pacific Rim tampil begitu spektakuler dan luar biasa besar justru bukan karena tim visual effects-nya (mereka berperan, tapi hanya nomor sekian), tetapi trik dari sang cinematographer, choreographer, dan tentunya, kejelian dan kekreatifan sang sutradara sendiri untuk mengambil angle dan memvisualisasikan imajinasinya. Kehebatan Guillermo Navaro, Director of Photography film ini, dalam memanfaatkan wide yang lebih sempit pada aspect ratio 1.85:1 daripada cinemascope 2.39:1 yang pada umumnya digunakan untuk film-film blockbuster kebanyakan, dan pengambilan angle-nya yang dari sudut pandang manusia yang berukuran jauh lebih kecil telah sukses membuat para monster dan robot, serta segala scene peperangan dalam film ini terlihat sangat besar, spektakuler, dengan ukuran skala raksasa yang benar-benar terasa karena penonton merasa menjadi saksi mata pertarungan itu sendiri. Sehingga dengan kata lain, menyaksikan Pacific Rim on the biggest screen possible seperti IMAX 3D (minimal 3D) adalah sebuah keharusan untuk memperoleh experience-nya secara maksimal. 


A 190 Million Dollar Power Rangers Movie

Dalam beberapa kesempatan pun, Pacific Rim sanggup membuat kita semua teringat dengan serial Power Rangers, di mana setiap episode-nya selalu diakhiri dengan pertarungan antara robot raksasa yang dikendalikan oleh manusia dengan sesosok monster raksasa, ataupun kisah manusia vs. monster buas ala Jurassic Park, ataupun dongeng monster Jepang klasik (Kaiju berarti monster dalam bahasa Jepang) seperti Godzilla. Guillermo del Toro jelas memiliki mimpi yang sama dengan para anak laki-laki, geeks dan fanboys yang tumbuh bersama dengan franchise paling populer sepanjang masa itu, yakni mengangkat konsep kisah seperti ini menjadi sebuah tontonan dahsyat yang penuh nostalgia atas kenangan masa kecil yang tak terlupakan.

Namun homage seperti ini jelas sedikit-banyak berdampak pada karakterisasi manusianya yang cliche dan gaya humor-dialog-nya yang sedikit-banyak mirip dengan gaya manga / anime Jepang yang, you know, cheesy dan dangkal. Ntah disengaja karena del Toro memang ingin memberi penghormatan untuk film dan kebudayaan monster di Jepang seperti yang sudah ia utarakan di beragam interview-nya--atau tidak, tetapi hal ini pada akhirnya justru mengganggu pengalaman menonton karena eksekusinya di layar menjadi cukup kontras dengan gaya narasi, atmosfir dan actionnya yang cenderung dark dan serius; terutama bagi penonton yang sama sekali don’t give a damn dengan film-film / anime / manga Jepang. 



Overall, di luar segala kekurangan dan format packaging-nya yang memang cenderung untuk kalangan remaja, fanboys, geeks, atau orang-orang tua yang ingin bernostalgia dengan idola masa kecilnya, Pacific Rim is still a summer blockbuster film at its finest. Guillermo del Toro berhasil mengerahkan segala kemampuannya sebagai seorang sineas A-lister untuk memberi suguhan film blockbuster yang sangat spektakuler, ringan tetapi cerdas, dan sangat menghibur dari awal sampai akhir film. Dan bagi para fanboys dan geeks, bersiaplah untuk orgasme dan menangis!


Length : 1233 Words
Rating :  ½
Mid-credit Scene : YES
Follow my twitter : @Elbert_Reyner





You Might Also Like

5 comments

  1. really good n to the point review, absolutely agreed with all u said above....sayang di medan blom ada layar IMAX 3d.....'sigh , btw mid credit scenenya really hilarious...hell boy lost his golden shoes...'grin

    p.s gan,plz review 'Miracle in cell no.7' dong...heran aja koq tiba2 sinema 21 bisa rilis film korea di midnite show, hal yg ngak pernah terjadi selama ini di medan, trus rabu lalu ud tayang iklan di koran film ini bakal premier keesokan hr nya, eh ampe hr ini kgk nongol2 tuh film di 21, hal ini pernah terjadi juga ama film 'Evil Dead'bbrp bln lalu, ud tayang iklan di koran bakalan premier tapi kgk nongol2 juga....'speechless

    ReplyDelete
  2. Di surabaya sini udah tayang hari jumat lalu tapi di satu bioskop aja. Kyknya memang limited deh. Evil Dead akhirnya tayang kan tapi?

    ReplyDelete
  3. bro, THE HOBBIT itu bukannya PETER JACKSON?
    dia juga yang handle TLOTR kan?

    Del Torro 'kuat' di penggambaran monster, kayak di Labyrinth atau HELLBOY

    ReplyDelete
  4. Peter Jackson emang sutradaranya bro, Guillermo del Toro berperan sebagai screenwriter dan project consultant di The Hobbit trilogy.

    ReplyDelete

Just do it.