The Darkest Hour (2011) Review
1/05/2012 10:51:00 PM
Dengan konsep cerita yang begitu menarik, apakah sutradara Chris Gorak dan penulis naskah Jon Spaihts berhasil mengembangkannya menjadi film yang bagus?
Sayangnya, hasil akhir The Darkest Hour bisa dibilang gagal total dalam menghadirkan film invasi alien yang berkualitas dan orisinil. Padahal, bagi yang sudah menyaksikan trailernya, The Darkest Hour sangat berpotensi untuk menjadi film alien invasion yang tidak biasa karena Alien yang bertamu tersebut tidak kasat mata dan menghisap segala bentuk energi listrik di sekelilingnya.
Garis besar film ini berkisah mengenai dua orang pemuda dari Amerika, Sean (Emile Hirsch) dan Ben (Max Minghella) yang pergi ke Moscow, Russia untuk berbisnis dengan Skyler (Joel Kinnaman) yang sayangnya berujung gagal. Tidak ingin uang tiket pesawatnya terbuang percuma, mereka pun memutuskan untuk berkeliling kota dan berhenti di sebuah bar. Di sana mereka bertemu dengan Skyler lagi, serta dua remaja perempuan dari Amerika, Anne (Rachel Taylor) dan Natalie (Olivia Thrilby). Namun, terjadi sesuatu yang terduga. Ribuan benda asing berwarna orange tiba - tiba jatuh dari langit dan membunuh seisi kota. Berhasil menjadi segelintir makhluk hidup yang selamat dari kiamat, mereka berlima pun berusaha bertahan hidup dan mencari cara untuk melarikan diri dari Moscow.
Seperti kebanyakan film - film sejenis, naskah film The Darkest Hour layak untuk dijadikan biang keladi keburukan kualitas film ini. Semenjak awal film, para penonton sudah mengendus banyak hal yang tidak beres dengan film ini; mulai dari kedatangan para alien yang sangat janggal, plot hole yang bertebaran di mana - mana, hingga dialog serta adegan - adegan bodoh yang membuat saya tertawa terpingkal - pingkal.
Si penulis naskah tampaknya lebih mengarahkan film ini ke ranah survival horror, ketimbang mengembangkan premise-nya yang menarik, yang ternyata juga gagal ditulisnya dengan baik. Jon Spaihts melewatkan banyak sekali kesempatan untuk memberikan nuansa mengerikan dan perkembangan karakter yang solid, ataupun kegiatan - kegiatan untuk survive di tengah kiamat yang tentunya akan menarik untuk dilihat. Ia malah membuat karakter - karakter di film ini tidak seperti “manusia”. Sebab di tengah kiamat, hal utama yang mereka lakukan adalah : mencari kedutaan amerika di Russia supaya bisa pulang, mencari peta Russia, mencari senjata untuk membunuh alien, lalu bersembunyi di mall dan mencari lampu. Mereka tidak mencari makanan, minuman, ataupun melakukan sesuatu yang benar - benar logis dan bermanfaat untuk memperpanjang masa hidup mereka, seperti yang akan manusia biasa lakukan ketika dunia kiamat. Mereka malah mencari gara - gara dan mengumpankan dirinya ke alien - alien supaya film ini menjadi lebih seru. Kelima karakter tersebut bahkan tidak menunjukkan sesuatu yang emosional seperti merasa takut, paranoid ataupun trauma di sepanjang film! Bayangkan seisi kota hancur lebur, mereka justru berperilaku seperti itu. Sungguh karakter - karakter utama di film ini adalah makhluk - makhluk yang kuat dan sangat bodoh.
Menilik segala caci - maki di atas, tentu kalian akan teringat dengan film Skyline, yang dirilis dua tahun lalu. The Darkest Hour kurang lebih mirip seperti film tersebut. Yup, film ini akan berisi banyak adegan aksi yang cukup seru, menghibur dan mampu membuat para penonton bertahan di kursi bioskop. Hanya saja, The Darkest Hour tidak memiliki visual effects canggih dan ending yang spektakuler nan mengejutkan seperti Skyline (pun intended). Meski film ini adalah produksi hollywood, visual effects dalam The Darkest Hour terlihat kasar (mengingat budget film ini hanya $30 million) dan menurut saya mungkin setingkat dengan efek dalam film Ghost Rider lima tahun silam. Sebagai gantinya, The Darkest Hour memiliki Emile Hirsch, salah satu bintang muda yang mempunyai bakat akting luar biasa (meski di film ini ia tidak tampil mengesankan); dan ending yang lebih bisa diterima daripada Skyline. Selain itu, set kota Moscow yang kosong dan kacau-balau bisa dibilang cukup mengagumkan.
Overall, film ini bisa dibilang cukup menghibur, meski juga sangat mengecewakan bagi para penonton yang berharap lebih terhadap film ini, mengingat konsep dan premise-nya sangat menarik. Dengan durasi yang terlalu singkat (hanya 70 menit) dan kualitas film yang di bawah rata - rata, saya rasa anda tidak perlu menyaksikan film ini di bioskop; kecuali apabila anda adalah 1 di antara 50 orang yang menyukai Skyline.
3 comments
Dahsyat, keren banget bos konsep Blog-nya, n The Darkest Hour ini padahal ane sempet ngerencanain pingin nonton nich 3D-nya di bioskop, tapi ngeliat rating ente ane jadi liat2 dompet dulu nich, apalagi situ ngasih poster Underworld Awakening yang bentar lagi tayang, mendingan buat itu... hehehe... Kalo berkenan monggo mampir di halaman preview ane tentang Underworld Awakening... :)
ReplyDeleteSampai sekarang aku bingung, endingnya apaan? Sampai aku searching ulang barang kali ada yang bisa cerita endingnya kenapa si sean dan natalie senyum? Lah kan seluruh bagian benua mulai mengalami hal yang sama, which is .. semua org di laut selamat ?
ReplyDeleteSampai sekarang aku bingung, endingnya apaan? Sampai aku searching ulang barang kali ada yang bisa cerita endingnya kenapa si sean dan natalie senyum? Lah kan seluruh bagian benua mulai mengalami hal yang sama, which is .. semua org di laut selamat ?
ReplyDeleteJust do it.