MY WEEK WITH MARILYN (2011) : A HUNDRED MINUTES WITH THE LEGEND

9/03/2012 11:54:00 PM


"I think directing a movie is the best job ever created, but Marilyn has cured me of ever wanting to do it again" -Sir Laurence Olivier
Jumat, 31 Agustus, gw sempet terkejut melihat film My Week With Marilyn tiba - tiba bertengger di jadwal show XXI Surabaya sini. Bagi kalian - kalian yang ingatannya sudah pupus layaknya butiran debu, My Week With Marilyn adalah film yang sempat menjadi perbincangan panas pada award season tahun 2011 hingga awal tahun 2012 ini. Tentu spotlight utamanya adalah performa Michelle Williams sebagai Marilyn Monroe yang legendaris itu. Karena gw ini termasuk pecinta film yang hobi mengamati penjiwaan para aktor - aktris terhadap karakter yang mereka perankan, film ini jelas masuk dalam daftar must-see gw. Tetapi, patut disayangkan karena--seperti biasa--21 group itu hobi banget menuh - menuhin gudang penyimpanan film mereka, My Week With Marilyn baru siap diputar 8 bulan setelah hype-nya kelar. Untungnya, kalian tidak butuh waktu sampai 8 menit untuk membaca review gw ini.

MISS MONROE, THE SLEEPING PRINCE, AND ME 

My Week With Marilyn ternyata bukan film biografi yang menggunakan formula umum yang biasanya dipakai para sineas Hollywood kebanyakan. Film ini lebih fokus pada kisah cinlok aktris legendaris Marilyn Monroe (Michelle Williams) dengan seorang (third) assistant director bernama Colin Clark (Eddie Redmayne), daripada kisah hidup Miss Monroe--demikian cara Colin memanggil kekasihnya--dari bayi hingga memasuki masa keemasannya. 

Awalnya itu, sebelum takdir mempertemukan kedua insan ini, Colin adalah seorang pecinta film (seperti kita!!) yang ngefans banget ama Alfred Hitchcock dan ingin segera terjun ke dunia film. Dan ternyata, tidak hanya pekerjaan impiannya saja yang ia peroleh, hati seorang aktris legendaris pun berhasil diembat! 

Colin dan Monroe bertemu ketika syuting film ‘Sleeping Prince’ di Inggris (kemudian judulnya diubah ke The Prince and the Showgirl) yang dibintangi sekaligus disutradarai oleh Sir Laurence Olivier (Kenneth Branagh*). Tetapi, proses syuting yang seharusnya berjalan mulus ini harus terhalangi oleh beragam masalah behind-the-scene yang tak pernah kita duga sebelumnya.

*FYI : doi juga berperan sebagai Prof. Gilderoy Lockhart di film Harry Potter 2, menyutradarai film Thor The Demigod dan telah menggendong 5 nominasi Oscar. Gw sengaja beritahu dengan harapan kalian baca review ini sebelum nonton filmnya. Biar nanti setelah selesai nonton filmnya gak “Owalah! Profesor pengecut itu! Pantes pernah liat” trus nyesel kayak temen gw karena gak merhatiin.


Tidak hanya kebintangan Michelle Williams dan Kenneth Branagh yang begitu bersinar, film ini ternyata (dan gw sendiri baru tahu) juga didukung oleh Dominic Cooper, Toby Jones, Emma Watson (kalau ini tahu) dan Judi Dench! Meski screen time mereka tidak sebanyak tiga karakter sentral film ini (Monroe-Colin-Olivier), mereka tetap memberi performa terbaik dan menjadi “eye-candy” tersendiri bagi para pecinta film.

Oke, kembali ke topik utama. Seberapa hebatnya sih akting Michelle Williams sebagai Miss Monroe? Well, three words : SHE WAS AMAZING! Aktingnya yang begitu dahsyat bahkan berhasil mengganggu proses pencernaan otak gw dan membuat gw bertanya - tanya : sebenarnya ini gw lagi nonton Documentary pembuatan film The Prince and The Showgirl atau film biografi Monroe yang diperankan aktris lain. Ya, sehebat itu pemirsa sekalian; tidak kurang tidak lebih. 

Meski harus dipaksa juri Oscar untuk mengaku kalah kepada Meryl Streep pada ajang Academy Awards 2012 lalu, toh Michelle Williams masih tetap mendapat pengakuan dari gw *sok pro* dan para pecinta film lainnya bahwa ia benar - benar berhasil menghidupkan kembali keagungan Marilyn Monroe ke layar bioskop dan membuat para penontonnya begitu terikat penuh dengan kehidupan sang legenda selama 100 menit. It’s truly an unforgettable cinematic experience! 


SOLID PERFORMANCES AND A FEW HICCUPS

Tidak mau kalah terang dengan Michelle, Kenneth Branagh pun juga memberi performa akting yang exceptional (5 nominasi Oscar gitu). Beliau berhasil mengingatkan gw atas kemenangan mutlak Christopher Plummer di seluruh ajang award season baru - baru ini. I mean, setelah menyaksikan film ini, gw semakin merasa kalau Plummer itu overrated banget (he is a good actor, though). Performa Branagh sebagai Olivier jelas jauh lebih unggul dibandingkan Plummer di film Beginners dari segala sisi. Tapi, yah, yang berlalu biarlah berlalu. Selain itu, Judi Dench, Emma Watson bersama rombongan aktor senior lainnya juga memberi performa yang sesuai dengan standard kualitas mereka. 

Unfortunately, beribu - ribu sayang, departemen naskah dan directing-nya kurang bisa mengimbangi gempuran performa aktor - aktrisnya. Pada awal hingga pertengahan film, para cinephiles benar - benar dimanja dengan beragam kisah pembuatan film yang old school, mulai dari tahap dasar hingga proses syuting. Di samping itu, dukungan fast editing dan iringan musiknya yang sangat pas telah turut ambil bagian dalam membangun mood penonton yang baik. 

Waktu itu gw benar - benar berhasil dibuat jatuh cinta dan tersenyum bahagia atas suguhan spektakuler dari sutradara Simon Curtis dan penulis Adrian Hodges itu. Ditambah lagi performa aktor - aktrisnya yang begitu solid, sukses deh membuat gw “orgasme” tak berdaya di kursi bioskop. Tetapi di sela - sela itu, sisi pesimis gw juga sempat berandai - andai apakah si Simon Curtis ini bisa terus - menerus mencengkeram seluruh perhatian para penonton sampai film berakhir. 

Eh... baru aja digosipin, nggak taunya pertengahan film hingga akhir terasa begitu kedodoran. Tuduhan jelas bisa langsung dilayangkan dengan penuh semangat ke cara penyajian kisah cinta antara Colin dan Monroe yang menurut gw sedikit di bawah harapan.

Tidak hanya itu, beberapa pengembangan cerita setelahnya juga terasa setengah - setengah dan kurang greget. Gw gak ngerti apakah hal ini memang dari source material buku autobiografi yang ditulis sendiri oleh Colin Clark atau tidak. Tetapi tetap saja kesan yang ditinggalkan ke para penontonnya itu seakan - akan sang sutradara dan penulis naskah film ini telah patah semangat di tengah jalan untuk menjaga kestabilan kualitas My Week with Marilyn mulai pertengahan film hingga akhir. 


Overall, My Week With Marilyn ini tergolong sebuah film biografi yang (lagi - lagi) sangat tertolong oleh kekuatan jajaran cast-nya. Memang secara keseluruhan, film ini tidak buruk. Namun, tanpa Michelle Williams, gw yakin film ini akan berada di bawah radar dan tidak dapat keliling di berbagai award season bergengsi. Michelle Williams bisa dibilang adalah nafas kehidupan film ini yang tak pernah lelah berhembus kencang, dan juga merupakan (satu - satunya) alasan utama kalian untuk menyaksikan My Week With Marilyn. 



You Might Also Like

0 comments

Just do it.