REVIEW : THE WOLVERINE IS LOST IN TRANSLATION

7/28/2013 02:31:00 PM



2013 / US / 20th Century Fox / 126 Minutes / James Mangold / 2.39:1 / PG-13 

Many said that 2009’s X-Men Origins : Wolverine is a disaster. Banyak pula yang mengatakan kalau film ini hanya mengulang beberapa poin cerita yang sudah pernah dibahas di ketiga film X-Men dengan plot hole yang lebih besar dan visual effects yang lebih payah. Hanya segelintir orang yang berpendapat bahwa film ini adalah prekuel yang baik dalam menuturkan kisah origins sang Wolverine, and mostly it’s from the general audiences. Namun toh, walau penonton dan fans banyak yang tidak menyukainya, 20th Century Fox masih tetap nekad melanjutkan kisah Wolverine sampai installment keduanya ini karena, obviously, pendapatan box office X-Men Origins dan X-Men First Class yang sangat memuaskan dan juga karena pertimbangan bahwa X-Men ini adalah satu-satunya franchise paling menguntungkan yang dimiliki Fox. Cliche.
Guna menghasut para fans dan penonton agar mau menyaksikan kembali petualangan terbaru Wolverine, Fox merombak total kru-kru esensial di belakang layarnya. James Mangold (3:10 to Yuma, Knight and Day) kini duduk di kursi sutradara setelah sebelumnya sempat ditahtahi oleh sineas kaliber Oscar, Darren Aronofsky (The Black Swan). Hugh Jackman jelas kembali sebagai Wolverine, he is the one and the only. Tim penulis naskahnya pun tidak main-main, mulai dari Oscar Nominee Scott Frank (Minority Report, Out of Sight), Mark Bomback (Live Free or Die Hard, Unstoppable) yang spesialis film blockbuster, sampai Oscar Winner Christopher McQuarrie  yang gosipnya disewa khusus untuk memoles draft terakhir naskah film ini. Dengan tim solid seperti itu, how could it possibly be so bad?


A Cheap-Looking Yakuza Film with X-Men Twist

[Skip this section if you haven’t watched X-Men The Last Stand]

Film dibuka dengan adegan flashback ketika Logan (Hugh Jackman) dijadikan tahanan oleh Jepang pada saat perang dunia II, jauh sebelum ia bertemu William Stryker dan disuntik logam adamantium. Berkat hati mulia yang dimiliki Logan, ia menyelamatkan seorang tentara bernama Yashida (versi muda diperankan oleh Ken Yamamura) dari ledakan bom nuklir yang menyerang Hiroshima.

Berpuluh-puluh tahun kemudian, paska peristiwa di X-Men The Last Stand, Logan kembali hidup berpindah-pindah guna menghapus memori kematian wanita yang dicintainya, Jean Grey (Famke Janssen) yang terus menghantui alam bawah sadarnya. Suatu malam, sesosok perempuan Jepang bernama Yukio (Rilakuma Fukushima) muncul di tengah bar fight antara Logan dengan seorang pengunjung Bar (yang langsung membuat penonton teringat dengan prolog di film X-Men pertama). Ia menyampaikan pesan dari atasannya bahwa Logan harus segera berangkat ke Tokyo untuk menemui Yashida (versi tua diperankan oleh Hal Yamanouchi) yang pada saat ini sedang sekarat. Namun, apa yang seharusnya menjadi sebuah perjalanan singkat yang menyenangkan justru membawa Logan terlibat dalam konspirasi maut perebutan wasiat perusahaan besar Yashida.

[End of Spoiler]


Menyandang statusnya sebagai sebuah spin-off dengan setting timeline yang masih berada di dalam universe X-Men, The Wolverine dapat dikatakan gagal total untuk setidaknya menyambung benang merah antara dirinya dengan franchise X-Men itu sendiri. Film ini justru berakhir persis seperti segala hal yang telah kita ekspetasikan dari trailernya : (terlihat) murahan, tidak menarik, dan penuh dengan rentetan adegan aksi uninspired yang sangat jauh dari kelas X-Men. 

The Wolverine seolah-olah merupakan perwujudan dari keinginan 20th Century Fox untuk memproduksi sebuah film Yakuza mahal dengan setting Jepang yang kental dan sengaja memasukkan nama besar Wolverine di dalamnya guna meningkatkan performa Box Office-nya, which unfortunately, hal itulah yang saya dan mungkin penonton lain rasakan ketika menyaksikan film ini. It’s more like Tom Cruise in The Last Samurai or any other East-meets-West-movie, ketimbang sebuah sekuel tak langsung dari X-Men The Last Stand atau sekedar kisah lanjutan dari X-Men Origins : Wolverine. Dan hal ini jelas dapat dikatakan cukup mengecewakan bagi penonton serta para fans yang mengharapkan suguhan kisah yang bonafit mengenai petualangan Logan ketika ia sedang tidak beraksi bersama dengan grup X-Men.  


Sebuah Dilema : Antara Stand-alone atau Spin-off?

Namun apabila kita berusaha memandangnya sebagai sebuah film standalone, The Wolverine, sesuai dengan penghilangan judul X-Men di depannya, is kind of a good action film untuk sekedar merayakan malam minggu bersama teman-teman. Rentetan adegan aksinya tampil sesuai dengan standard mid budget summer-movie (budget The Wolverine ‘hanya’ $100 juta). Alur ceritanya termasuk ringan, cliche namun tidak begitu kacangan dan mudah diikuti dengan beberapa twist and turn yang setidaknya masih cukup menarik untuk disimak. Hugh Jackman pun kembali berhasil menampilkan sosok Wolverine yang bengis dan psychologically complex seperti yang telah kita kenal selama ini, menghapus bersih penampilan lembutnya sebagai Jean Valjean di Les Miserables. Pemeran para supporting character-nya, yang kebanyakan memang berdomisili di Jepang and thanks God, no Ken Watanabe in here, juga tampil baik sesuai dengan keahlian mereka masing-masing. 

Unfortunately, kemunculan Jean Grey di sepanjang film dan mid-credit scene-nya yang merupakan teaser untuk film X-Men berikutnya, Days of Future Past (2014) justru memaksa film ini agar dipandang sebagai sesuatu yang berperan penting dalam universe X-Men. Lantas mengapa The Wolverine dibuat dengan treatment film lepas stand-alone sedangkan di sisi lain film ini masih dianggap sebagai a-film-to-not-be-missed bagi yang mengikuti franchise X-Men?


Status identitas yang ambigu ini pada akhirnya membuat penonton menjadi tidak fokus untuk mengikuti alur cerita film ini akibat kebingungan dalam menentukan sudut pandangnya ketika menyaksikan The Wolverine, antara cerita yang berdiri sendiri seperti yang cenderung dinarasikan dan diinginkan oleh naskahnya, atau spin-off dari X-Men. Kedua hal ini, sayangnya, saling bertepuk sebelah tangan dan terkesan sangat dipaksakan untuk bersambungan satu sama lain meski pada kenyataannya, final cut film ini terasa seperti dua film berbeda yang dipaksa untuk tampil bersama dalam satu film.

Sosok antagonis mutant bernama Viper pun sama sekali tidak tereksplor dengan baik, di luar perannya dalam aliran cerita yang cukup krusial. Kehadirannya di film ini malah terkesan dipaksakan untuk ada guna menemani Logan yang juga seorang mutant dan, you know, agar film ini tetap memiliki rasa X-Men. Dengan total kehadiran mutant yang tidak lebih dari 5 orang, The Wolverine dapat dikatakan sebagai installment X-Men dengan jumlah mutant paling sedikit yang pernah diproduksi. Bahkan tidak berlebihan apabila para fans, terutama yang hanya mengikuti universe filmnya, merasa bahwa uang tiketnya baru terbayar lunas ketika mid-credit-scene-nya muncul di layar. 


Overall, The Wolverine adalah sebuah film follow-up kisah petualangan Wolverine yang sangat mengecewakan dan benar-benar labil dalam menentukan identitas, kepentingan serta kontinuitasannya dalam universe X-Men. Bahkan saking nggak nyambungnya, tanpa kehadiran Wolverine dan mutant dan mid-credit scene-nya sekalipun, film ini tetap bisa berjalan dengan normal; hanya butuh penggantian judul, penghapusan elemen fantasi dan sedikit perubahan di bagian karakternya, voila, jadi sudah sebuah film action east-meets-west, ketika seorang bule harus berjuang lepas dari konspirasi maut di Jepang. Inikah film spin-off Wolverine yang katanya lebih baik dari X-Men Origins : Wolverine? Inikah sebuah film yang layak disebut sebagai bagian dari universe X-Men? I have no idea. For me, it’s just another instant cash-cow for 20th Century Fox.


Length : 1186 Words
Rating : ½
Mid-Credit Scene :  
Review by : @Elbert_Reyner





You Might Also Like

4 comments

  1. Logan's apperance there felt like a misplaced character though he held many portions in this very movie. And since you mentioned it, Rilakuma LOL

    ReplyDelete
  2. Hmm, kyknya terlalu subyektif deh penilaiannya...

    Jika The Wolverine dianggap penting untuk film X Men tentunya memang penting untuk menyambung alur cerita Prekuel-Sekuel sebelum dan sesudah The Wolverine (Jika tujuannya untuk menyambung cerita)...

    Hanya saja kesan dipaksakan memang ada... Misalnya :
    1. X1-X2-X3 The Last Stand, sepertinya terjadi jauh setelah Perang Dunia 2, Perang Vietnam & perseteruan USA vs Uni Soviet (tahun 90an sampai 2000an)...
    2. Origin Wolverine, bisa dipastikan kisahnya setelah Perang Vietnam (1975-19..)...
    3. First Class, perang dingin Amerika vs Rusia (era krisis Kuba 1962)...
    4. The Wolverine, kemungkunan era sekarang (setelah X3 The Last Stand)...

    Yang menimbulkan kesan dipaksakan justru disebabkan karena Origin Wolverine & First Class...
    1. Kelumpuhan Prof X...
    2. Wolverine ikut PD2 di Normandy (Origin Wolverine) ataw Jepang (The Wolverine)??
    3. Bagaimana mungkin Wolverine bisa ingat begitu jelas siapa Yashida sebenarnya (The Wolverine)?? Setelah pemasangan Adamantium (setelah era Perang Vietnam), semua ingatan hanya sebatas potongan2 bayangan tentang masa lalu tanpa ingat sepenuhnya...

    Sekian dulu, maap kalo kebanyakan... Sebenarnya masih banyak kejanggalan sejenis tapi itu saja dulu...

    ReplyDelete
  3. ALAAAH... DASAR SOTOY ENTE! #fuckcritick

    ReplyDelete

Just do it.