BATTLE OF SURABAYA (2015): SEBUAH PELAJARAN YANG BERHARGA

9/03/2015 07:49:00 PM




Hype Battle of Surabaya sudah dimulai sejak tahun 2012 lalu, ketika berita tentang pembuatan film ini terendus publik. Waktu itu, sampai dengan tanggal rilisnya 20 Agustus 2015 kemarin, memang tidak banyak film animasi produksi Indonesia yang berhasil menarik perhatian publik, baik yang telah dirilis sebelumnya seperti Homeland, sampai empat film animasi Paddle Pop: Petualangan Singa Pemberani yang hadir nyaris tanpa gaung. Berbekal fakta itu, dan mengingat betapa ambisiusnya proyek Battle of Surabaya yang kabarnya sampai menelan biaya produksi belasan miliar, tidak heran kalau media dan masyarakat Indonesia menggadang-gadangnya sebagai awal dari kebangkitan film animasi Indonesia.




Tiga tahun kemudian, setelah mengalami pengunduran jadwal rilis dari tahun 2014 ke 2015, film Battle of Surabaya akhirnya dirilis di bioskop. Sayang, hype di awal itu harus diakhiri dengan kekecewaan. 

Masalah film ini sudah tampak sejak adegan pembukanya, ketika penonton diperkenalkan dengan Musa, seorang bocah berusia tiga belas tahun yang bekerja sebagai pengantar surat-surat rahasia antar para pejuang kemerdekaan pada tahun 1945. Untuk menutupi misinya agar tidak dicurigai oleh tentara Jepang dan Inggris, Musa menyamar sebagai penyemir sepatu. Di tengah perjuangannya itu, ia bertemu dengan Yumna, teman seumurannya yang misterius, dan Danu, salah seorang tentara muda yang diam-diam juga jatuh cinta pada Yumna. 


Oke. Jauh sebelum film ini dirilis, kita semua memang sudah tahu kalau Battle of Surabaya akan menggunakan sudut pandang seorang karakter anak-anak dalam menceritakan ulang salah satu bagian sejarah terkelam Indonesia. Di atas kertas, konsep tersebut tentu saja sangat menjanjikan, karena selain dapat memberikan interpretasi yang menarik terhadap perang, anak-anak yang berperan sebagai target penonton Battle of Surabaya juga dapat lebih relate dengan kisah karakter utamanya.




Sayangnya, Battle of Surabaya tidak dapat memenuhi ekspetasi tersebut. Sepanjang durasi, film ini lebih banyak menghabiskan waktunya pada kisah hubungan antara Musa dan Yumna, daripada perang Surabaya itu sendiri. Penggambaran hubungan mereka dapat dikatakan terlalu personal, sampai dengan kurang ajarnya membiarkan tokoh-tokoh dan peristiwa yang berperan penting dalam Perang Surabaya hanya tampil sebagai hiasan dan plot device belaka. Bahkan tidak sedikit yang nyelip sembarangan dengan berbekal satu-dua dialog saja hanya demi mempertahankan persepsi penonton bahwa film yang ditontonnya ini masih tetap Battle of Surabaya, bukan yang lain. 


Riset pun juga kurang dilakukan secara mendalam. Gambaran kota Surabaya di film ini lebih terlihat seperti kota fiksi daripada kota Surabaya pada tahun 1940an. Salah satunya adalah desa tempat Musa tinggal. Siapapun yang lahir dan tinggal di Surabaya pasti dapat menunjuk kejanggalan itu tanpa pikir panjang. Desa kecil tersebut terletak di perbukitan tinggi dan seringkali, Musa dapat mengamati pemandangan kota Surabaya secara keseluruhan dari sana. Kenyataannya, tidak ada dataran tinggi di daerah Surabaya, Malang, Batu, dan manapun yang bisa mendapat pemandangan seperti itu, bahkan pada tahun 1940-an sekalipun.

See?

Oke. Cukup berbicara tentang geografi. Naskahnya pun juga tidak kalah kacaunya. Seperti yang sudah dibahas di atas tadi, Battle of Surabaya lebih banyak bercerita tentang hubungan Musa dan Yumna, yang ironisnya, tidak ada kaitannya sama sekali dengan perang Surabaya selain setting waktunya. Dialog-dialog yang ditulis oleh Aryanto Yuniawan dan M. Suyanto juga terdengar sangat kaku, dan tak jarang, terasa tidak masuk akal sampai menimbulkan gelak tawa yang tak diinginkan dari penonton. Hal ini semakin diperparah oleh logat yang digunakan oleh para voice actor-nya yang sama sekali tidak sesuai dengan logat Surabaya ataupun British. Kata-kata slang khas Surabaya seperti cak, juangkrik, onok opo, dan lain sebagainya juga hanya digunakan sesekali saja. Well, itupun dengan ejaan yang salah.


Untung saja, Battle of Surabaya memiliki satu keunggulan yang memang pantas diacungi dua jempol: teknisnya. Mulai dari kualitas animasi, desain karakter (yang merupakan perpaduan antara aliran gambar Jepang dan Indonesia; mengingat pengaruh komik Jepang memang sudah sangat kuat terhadap gaya gambar orang Indonesia sejak Gramedia menerbitkannya pertama kali di sini), coloring, CGI, sampai tata suara Dolby 7.1, semua digarap dengan hasil yang sangat exceptional dan patut untuk dijadikan sebagai standard industri animasi Indonesia ke depannya. 




Tetapi sayang, kualitas teknis yang juara itu tetap tidak bisa menutup-nutupi keburukan naskahnya dan kurangnya riset yang mendalam. Sehingga pada akhirnya, Battle of Surabaya lebih berhasil menjadi sebuah pelajaran yang berharga bagi para pembuat film tanah air, daripada tujuan utamanya semula: menjadi media yang menarik untuk menceritakan kembali sejarah Perang Surabaya kepada penontonnya.[]


RATING: 2 out of 5 stars


You Might Also Like

2 comments

  1. Be'e sing de'e ngeliat kota Suroboyo iku nang Gresik (cikal bakale Citraland) konon kan jare daerah e iku berbukit-bukit n bergunung2 -ngawur-

    ReplyDelete

Just do it.