AACH... AKU JATUH CINTA (2016) REVIEW: KOMPILASI PUISI PAHIT MANIS CINTA

2/18/2016 01:06:00 PM


Lolos seleksi untuk tampil secara resmi di Busan International Film Festival tahun 2015 lalu memang bukan prestasi sembarangan. Tidak banyak film Indonesia yang mampu menorehkan prestasi serupa. Tetapi dari segi bisnis maupun bagi sutradara / penulis Garin Nugroho sendiri, film Aach... Aku Jatuh Cinta tetaplah sebuah pertaruhan besar. Kisah cinta tahun 70-an dengan dialog-dialog puitis dan judul yang nyentrik adalah sesuatu yang jelas tidak mudah untuk ‘klik’ dengan masyarakat saat ini.




Kisah dalam film Aach... Aku Jatuh Cinta mengalir layaknya dongeng cinta terlarang ala Romeo dan Juliet, dengan gaya bertutur yang segamblang judulnya. Tak perlu puluhan adegan bertele-tele dan terawangan jauh-jauh untuk mengetahui bahwa dua karakter sentral film ini, Rumi dan Julia, sudah jatuh cinta sejak di menit awal film, ketika mereka masih kecil dan saling mencuri hati lewat segulung surat di dalam botol limun. Lantas apa yang menarik kalau mereka sudah jatuh cinta? Inilah yang ingin diceritakan oleh Garin Nugroho. Aach... Aku Jatuh Cinta adalah tentang proses Rumi dan Julia untuk saling mengungkap perasaan. 

Rumi yang diperankan oleh Chicco Jericho adalah seorang berandal dari keluarga kaya pemilik pabrik Limun. Ia memang tak mampu mengucap isi hati seindah lawannya, Julia, namun ia lihai menampilkannya lewat tindakan. Sedangkan Julia, ia menyembunyikan perasaannya lewat kata-kata bertabur gula yang enigmatik dan seringkali melampiaskannya dengan air mata. Hubungan mereka tak pernah berkembang lebih dari itu selama bertahun-tahun sampai kekacauan mulai melanda. Ayah Rumi menutup pabrik limunnya dan menjual semua yang ia miliki. Nasib Julia juga tak kalah tragis. Ia dilarang ibunya untuk bergaul dengan Rumi, ditinggal lari ayahnya, kemudian hidup dengan hasil penjualan jus jambu merah hasil curian. Kedua pasangan ini pun harus menyusuri jalan yang saling membelakangi.

Dari titik inilah, Garin Nugroho kembali membuktikan bahwa ia adalah seorang tukang cerita yang hebat. Hanya melalui peristiwa-peristiwa sederhana dan lantunan dialog-dialog puitis, Garin berhasil mengajak penontonnya untuk menyelami karakter-karakter rekaannya, merasakan apa yang mereka rasakan, dan terhisap dalam perang batin mereka seakan kita adalah penengahnya. Apa yang sebelumnya bisa terbaca, kini menjadi kisah yang tak dapat diprediksi. Apa yang sebelumnya kita benci, perlahan mulai kita cintai. Penonton pun pada akhirnya mengharapkan adanya konklusi yang indah dan sederhana pada kisah cinta Rumi dan Julia, tetapi Garin Nugroho justru memupuskannya lewat kesimpulan yang tak berujung.




Pengalaman menyaksikan Aach... Aku Jatuh Cinta memang terasa seperti sebuah petualangan penuh kejutan. Di awal perjalanan, penonton sudah tahu bagaimana semua ini akan berakhir. Titik tujuannya sudah terlihat jelas di depan mata. Tetapi setelah menit-menit awalnya berlalu dan lagu Dari Mana Datangnya Asmara melantun, kekuatan visual dan kecanggihan narasi Aach... Aku Jatuh Cinta mulai menunjukkan bahwa ia bukan film sembarangan. Ia adalah film yang luar biasa indah, yang berhasil merangkum dan menyeimbangi kekuatan visualnya dengan keindahan puisi-puisi cinta gubahan Garin Nugroho. Alhasil, mendengar puisi-puisi yang melantun dari mulut Rumi dan Julia tak lagi terasa aneh. Tetapi natural, seperti satu kesatuan yang tak terpisah dari apa yang kita lihat dengan apa yang kita dengar. Semua itu berhasil membuat Aach… Aku Jatuh Cinta menjadi sebuah pengalaman menonton film yang jarang kita alami.[]


Rating: 4 out of 5 stars



You Might Also Like

6 comments

Just do it.