Sudah bukan rahasia lagi bahwa film Clash of the Titans memiliki reputasi yang tidak baik di mata para pecinta film; mulai dari kualitas jalan ceritanya, akting hingga adegan aksi-nya yang monoton dan membosankan. Tidak hanya itu, film ini juga sangat mengubah cara pandang para penonton terhadap film - film 3D hasil konversi, berkat kualitas efek 3Dnya yang tidak hanya sekedar ‘tidak terasa sama sekali’, tetapi juga kualitas gambarnya yang gelap dan hancur. Lantas, apa yang membuat Warner Bros begitu menggebu - gebu ingin merilis sequelnya? Well, tentu saja berkat pemasukannya yang sangat menguntungkan : $493 million di seluruh dunia, dari budgetnya yang “hanya” $125 million. Dalam sequel-nya kali ini, Warner Bros mendudukkan Jonathan Liebesman (Battle : Los Angeles) di kursi sutradara, menggantikan Louis Leterrier; menyuntikkan dana yang lebih besar lagi, dan (obviously) memperbaiki kualitas 3Dnya secara menyeluruh. Apakah usaha Warner Bros ini berhasil meningkatkan kualitas Wrath of the Titans dibandingkan dengan predecessor-nya? Well, not really.
Apakah 3D effects dalam film Wrath of the Titans mampu membayar lunas tiket anda yang mahal? Let's find out.
Semenjak meraih penghargaan Midnight Madness di Toronto International Film Festival tahun lalu, film The Raid tiba - tiba menjadi perbincangan hangat di kalangan pecinta film. Bahkan kritikus di Amerika sana juga membanjiri pujian untuk film ini, di mana kebanyakan dari mereka sangat terpukau dengan adegan aksi yang disajikan; hingga akhirnya mendorong Sony Pictures Classics untuk membeli hak distribusi The Raid untuk diedarkan di seluruh dunia. Dengan segala hype yang luar biasa itu, apakah Gareth Evans benar - benar berhasil memenuhi ekspetasi para penonton?
Saga Harry Potter telah usai dan serial Twilight juga akan berakhir November nanti, sementara itu beragam film franchise-wanna-be yang ingin mengekor jejak dua saga ini justru cenderung gagal baik secara komersil maupun kualitas, seperti Narnia (yang akhirnya berhenti di film ke 3), The Spiderwick Chronicles, The Golden Compass, Eragon, I am Number Four, dan lain sebagainya. Bahkan Percy Jackson sendiri bisa dikategorikan cukup gagal (di box office America tidak berhasil menembus US$100 juta dan mendapat review yang kurang menggembirakan) meski pada akhirnya Fox masih memberi kesempatan dengan membuat sekuel film ini yang akan rilis tahun depan. Untuk tahun 2012 ini, Lionsgate merilis The Hunger Games, sebuah film yang diadaptasi dari novel terkenal karangan Suzanne Collins yang diharapkan dapat menjadi ladang uang bagi Lionsgate. Pada awalnya, film ini begitu digembar - gemborkan sebagai the next Twilight Saga, menilik source materialnya yang juga menceritakan mengenai kisah cinta segitiga dan ditulis oleh seorang penulis wanita. Tetapi setelah menyaksikan filmnya sendiri, dapat disimpulkan bahwa : The Hunger Games IS NOT Twilight. It’s one of the best films of 2012.
Percaya atau tidak, John Carter adalah film yang mengalami development hell terpanjang dalam sejarah dunia perfilman, yakni sepanjang 79 tahun! Film adaptasi novel sci-fi karangan penulis legendaris Edgar Rice Burroughs berjudul ‘A Princess of Mars’ ini sebenarnya telah mulai dikembangkan tahun 1933 dalam bentuk film animasi oleh Bob Clampert, salah seorang sineas yang pernah membuat Looney Tunes. Namun setelah screen test, para petinggi studio dan kritikus tidak menyukainya sehingga proyek tersebut diundur. Bertahun - tahun kemudian, proyek film John Carter ini terus gagal untuk diwujudkan, mulai dari teknologi film yang belum mumpuni, dan masalah lainnya. Tahun 2003, hak cipta film ini dipegang Paramount dan teknologi perfilman waktu itu dianggap sudah sanggup menghidupkan planet Mars sesuai imajinasi Edgar Rice. Robert Rodiguez pun ditunjuk untuk menyutradarai film John Carter. Namun lagi - lagi proyek ini mengalami kendala dan berganti - ganti sutradara, mulai dari Kerry Conran, Jon Favreau, hingga akhirnya Paramount tidak ingin memperpanjang hak cipta John Carter. Disney pun membelinya, memanggil sutradara pemenang 2 piala Oscar Andrew Stanton (sutradara Wall-E dan Finding Nemo), hingga mengucurkan budget $250 million. Dan pertanyaannya sekarang, apakah Andrew Stanton berhasil mengadaptasi kisah yang dipercaya sebagai awal mula genre Sci-fi berusia 100 tahun ini ke layar lebar dengan baik?
Setelah proyeknya tersandung - sandung selama 79 tahun, adaptasi novel sci-fi legendaris karangan Edgar Rice ini akhirnya menyapa para pecinta film di bioskop - bioskop dunia. Dengan segala dukungan visual effects canggih dan budget raksasa, apakah versi 3D film ini layak untuk disaksikan?
Sesuai dengan judulnya, film ini berkisah mengenai seorang pria bernama Nick Cassidy (Sam Worthington) yang berada di pinggiran sebuah gedung dan berniat untuk bunuh diri. Pasukan polisi pun segera dikerahkan bersama dengan pemadam kebakaran dan seorang detektif wanita bernama Lydia Mercer (Elizabeth Banks) untuk membuat Nick mengurungkan niat bunuh diri-nya. Namun siapa sangka, peristiwa tersebut hanyalah sebagian dari sebuah rencana perampokan berlian raksasa milik David Englader (Ed Harris) yang dijalankan oleh adiknya, Joey Cassidy (Jamie Bell) bersama pacarnya, Angie (Genesis Rodriguez).
Martin Scorsese adalah salah seorang sutradara legendaris
Hollywood yang masih aktif berkarya dan telah menghasilkan film – film luar
biasa seperti Taxi Driver, Ragging Bull, Goodfellas, hingga The Departed. Namun,
tidak seperti Steven Spielberg yang sudah merambah ke hampir semua genre,
Martin lebih memfokuskan diri di film – film drama yang membahas sisi gelap
manusia, gangster hingga film biografi. Oleh karena itulah, Hugo begitu menarik
perhatian tahun 2011 lalu. Tidak hanya menjadi film keluarga pertama bagi
Martin Scorsese, Hugo juga menjadi debut perdana-nya menggunakan kamera 3D dan
sekaligus menjadi film termahal yang pernah dibuatnya dengan budget $170
million. Apakah Martin Scorsese kembali sanggup mempesona para penonton lewat
debut ‘perdana’nya ini?
Selain
memperoleh 11 nominasi Oscar, ada satu hal lagi yang menarik dari film teranyar
Martin Scorsese ini : efek 3Dnya. Semua kritikus dan pecinta film yang
beruntung telah menyaksikan Hugo bulan November lalu memuji - mujinya sebagai
salah satu film dengan efek 3D terbaik setelah Avatar. Dan pada bulan Maret ini
(tepatnya kemarin malam), masyarakat Indonesia akhirnya mendapatkan kesempatan
untuk ikut mencicipi efek 3D dalam film Hugo. So, is it worth your hard-earned
money?
coming soon.
Selain
Will Smith dan Morgan Freeman, Denzel Washington bisa dibilang salah seorang
aktor kulit hitam yang sukses di ketatnya persaingan Hollywood. Meski pemasukan
film – filmnya tidak sebesar film – film yang dibintangi Will Smith, Denzel
sudah memiliki fan base tersendiri dan selalu tampil prima di tiap filmnya. 2
buah piala Oscar yang berhasil diraihnya pada tahun 1990 dan 2002, juga membuat
Denzel menjadi salah satu aktor kelas A dengan bayaran termahal. Untuk tahun
2012 ini, ia kembali menyapa para penggemarnya di bioskop lewat film Safe
House; di mana kali ini Denzel berpasangan dengan Ryan Reynolds. Uniknya,
Universal bisa dengan begitu percaya diri menyerahkan tanggung jawab besar ini
kepada Daniel Espinosa, sutradara muda yang belum berpengalaman; dan seorang
penulis naskah kelas teri, David Guggenheim. Dengan kucuran budget sebesar $85
million, mampukah kedua orang ini melaksanakan tanggung jawabnya dengan baik?