TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK (2013) : VISUALISASI SEBUAH AMBISI DAN ESENSINYA

12/29/2013 05:04:00 PM



2013 / Indonesia / 163 Minutes / Sunil Soraya / 2.39:1 / PG-13 


Mengadaptasi novel klasik buah karya anak bangsa bukanlah perkara mudah. Berbeda dengan negara-negara lain yang juga kaya akan budaya literatur seperti Amerika, Cina, dan Prancis, negara Indonesia terdiri dari banyak suku, logat, dan tata bahasa yang tersebar di beribu-ribu pulaunya dengan tingkat perkembangan dan perubahan di dalamnya yang sangat pesat.



Salah satu usaha industri perfilman Indonesia dulu sempat gagal ketika mereka mengangkat novel klasik berjudul Di Bawah Lindungan Ka’Bah (2011) karya sastrawan legendaris Indonesia, Haji Abdul Malik Karim Amrula (dengan nama pena Buya Hamka) ke layar lebar. Tidak hanya gagal secara komersil, film ini juga menerima banyak cercaan akibat ketidakmampuan pihak sineas untuk memberi nafas pada karakter-karakter rekaan Hamka berserta dengan penggunaan aksen dalam dialognya yang jauh dari kata autentik akibat minimnya riset yang mereka lakukan dan aktor-aktris yang tidak melatih logat bicaranya secara matang.

Selang dua tahun kemudian, muncul Soraya Intercine Films yang nekad untuk mengadaptasi novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ke layar lebar dengan suntikan dana di atas Rp. 20 miliar untuk membiayai aktor-aktris senior, pembangunan set tempat yang megah, dan pembiayaan riset yang katanya sudah dilakukan selama lima tahun. Dan meski anak produser Ram Soraya, yakni Sunil Soraya sendiri yang turun tangan mengambil alih kursi sutradara, film ini tetap tidak jauh dari resiko gagal total. Terlebih lagi, cibiran sudah menghias Van Der Wijck jauh sebelum perilisannya seperti soal pemilihan Herjunot Ali (yang dulu juga menjadi pemeran utama di film Di Bawah Lindungan Ka’Bah) sebagai Zainuddin, dan kepesimisan penggiat sastra serta pengamat film yang menganggap kalau film adaptasi ini akan gagal lagi untuk mengutarakan pesan-pesan yang ingin disampaikan oleh Hamka lewat karyanya itu. Tidak sedikit pula masyarakat yang membanding-bandingkannya dengan Titanic (1997) dan The Great Gatsby (2013) yang saduran kisahnya sama-sama mencampurkan fiksi dalam sejarah dan mengusung tema “cinta terlarang” dan “cinta tidak kesampaian” yang serupa. Tantangan lainnya, Soraya juga harus bisa membuat muatan budaya kuno dan aksen tata berbahasa yang termuat dalam Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck ini tidak terlihat konyol bagi masyarakat kita dan tidak menimbulkan lelucon-lelucon yang tidak diinginkan, yang mana, jelas akan sangat mencoreng keseriusan dan kekayaan dalam karya Hamka ini. Tetapi cibiran-cibiran itu biarlah terlarut sebagai penyemangat pihak sineas untuk membuktikan kualitas filmnya; karena pada kenyataannya, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sukses menjadi salah satu film blockbuster paling epik yang pernah dilahirkan oleh anak bangsa. 

Mengambil setting waktu tahun 1930an, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck bertutur tentang kisah cinta terlarang antara Zainuddin (Herjunot Ali) dan Hayati (Pevita Pearce) yang terjalin ketika mereka saling bertemu di Batipuh, Sumatra Barat. Tetapi Zainuddin berasal dari kalangan bawah dan tidak bersuku, membuat hubungannya dengan Hayati tidak direstui oleh kepala suku. Ia bahkan diusir dari tanah kelahirannya sendiri. Hayati yang juga mencintai Zainuddin berjanji bahwa hati mereka tidak akan dipisahkan oleh apapun untuk selamanya.

Selang beberapa tahun kemudian, Hayati tidak menepati janjinya. Atas dorongan dan paksaan dari kepala suku dan keluarganya, ia akhirnya memutuskan untuk menikahi Aziz (Reza Rahadian), seorang keturunan bangsawan Minangkabau yang kaya-raya. Merasa begitu hancur dan tidak diinginkan dunia, bahkan oleh kekasihnya sendiri, Zainuddin memutuskan untuk merantau ke Batavia dan membuktikan bahwa membuang dirinya adalah kesalahan terbesar yang pernah dilakukan oleh orang-orang dekatnya itu.

Apabila dilihat dari permukaan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sebenarnya tidak jauh dari kisah cinta terlarang dan sindiran terhadap pikiran-pikiran kolot dari tetua-tetua masa itu, seperti Sitti Nurbaya : Kasih tak Sampai (1922), yang seakan sudah menjadi tren sastra di kalangan anak muda ketika buku tersebut diterbitkan. Tetapi pada kenyataannya, film ini lebih dari itu. Sunil Soraya, bersama dengan rombongan tim penulis naskahnya, Donny Dhirgantoro, Imam Tantowi, dan Riheam Junianti, berhasil menerjemahkan hampir seluruh pesan dan sindiran sosial yang menohok tentang cinta, moralitas, dan kekayaan material—yang ternyata masih tidak jauh dari pemikiran masyarakat kita saat ini—ke dalam bahasa visual dengan amat baik dalam durasi 163 menitnya itu. Alhasil, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tidak hanya menghadirkan sebuah kisah cinta terlarang saja yang berpotensi untuk mudah dilupakan, tetapi ia juga sanggup menjadi medium tuangan pesan moral, refleksi hidup, dan buah pemikiran seorang tokoh sastra yang jarang tersampaikan dengan berbobot dan tanpa sikap menggurui di sinema Indonesia.


Sayangnya, kekuatan plot ini diperlemah sendiri oleh ambisi tim penulis naskahnya yang tetap bersikeras untuk menggunakan dialog-dialog yang kelewat puitis dalam novelnya. Keputusan tersebut justru menjadi bumerang tersendiri, karena tuntutan dialog-dialog tersebut telah membuat para pelakon-pelakon Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang mayoritas lahir dengan logat Jawa tidak dapat bermain natural. Herjunot Ali jelas meminggul tanggung jawab paling besar sebagai tokoh sentral penggerak roda plot film ini. Tetapi, tanpa bermaksud kasar, meski ia memang terlihat berusaha sangat keras untuk menghayati perannya, Junot pada dasarnya tidak memiliki paras yang pas untuk memerankan karakter Zainuddin dan hal ini menjadi salah satu kekurangan yang paling mentereng dalam film ini. 


Problematika utamanya, jelas, bermuara pada logat yang digunakan Junot dalam tuturan dialog-dialog puitisnya itu yang nyaris tidak pernah meyakinkan penonton bahwa Zainuddin adalah orang asli Makassar. Ia justru kerap kali menjadi sasaran bahan tertawaan penonton dan seringkali mentransformasi adegan serius menjadi unintentional comedy moments yang sangat mengganggu perkembangan plot dan karakter Zainuddin sendiri di sepanjang film. Tetapi untungnya, Junot masih memiliki sedikit kharisma dan ekspresi yang cukup kuat untuk mendukung adegan-adegan emosional yang melibatkan karakternya, terutama pada adegan kunci di penghujung film ketika Zainuddin mengutarakan kemarahannya pada Hayati. Junot adalah aktor yang berbakat--jangan salah, hanya saja, tempat dia bukan pada karakter Zainuddin. 

Lawan mainnya, Pevita Pearce, juga dapat dikatakan kurang berhasil memerankan sosok gadis desa lembut bernama Hayati. Kualitas logat yang ia gunakan tidak jauh dari Junot--meski sedikit lebih baik, belum lagi ditambah dengan ekspresi emosionalnya yang terasa kurang kuat dan tampak terlalu dibuat-buat di beberapa adegan penting. Untung saja, ia masih dapat menjalin chemistry yang baik dengan lawan-lawan mainnya. Spotlight utama seharusnya disorotkan pada karakter Aziz yang diperankan oleh Reza Rahadian. Ia begitu sukses memerankan karakter Aziz yang berwibawa dan temperamental itu nyaris tanpa cela, lengkap dengan logatnya yang pas dan aura bangsawannya yang tak pernah luput dari layar. Ia tidak pernah berhenti membuat film ini tampak lebih berwarna dan selalu mencuri perhatian penonton dalam setiap screen time-nya, bersama dengan Randy Nidji yang berperan sebagai asisten Zainuddin, yang juga tampil apik dalam momen-momen komedi film ini. 


Selain pada performa, tata artistik garapan Rizal Mantovani, meski tampil luar biasa menawan dan difilmkan dalam komposisi sinematis yang epik arahan Yudi Datau, sebenarnya cenderung kurang akurat apabila ditelaah dengan nalar karena ia masih sering meninggalkan kesan modern di benak penonton, bahkan pada benak penonton yang memiliki pengetahuan minim soal tata arsitektur dan tata busana di masa itu sekalipun. Visual effects dan penggarapan adegan kunci tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sendiri cenderung sangat di bawah ekspetasi dan penampilannya yang tidak sampai lima menit itu tidak pernah bisa memberi penjelasan kenapa film ini berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan apa kolerasinya dengan alur cerita dua jam sebelumnya, selain pada kematian salah satu tokoh sentralnya? Keputusan-keputusan artistik dari Sunil Soraya pun juga patut dipertanyakan. Seperti penggunaan tone warna biru yang berlebihan pada adegan-adegan di Batipuh, begitu pula dengan lagu-lagu OST besutan Nidji yang lebih sering digunakan daripada alunan musik di sepanjang film. Padahal, ilustrasi musik sebenarnya bisa lebih efektif untuk memberi penekanan pada adegan-adegan pentingnya dibandingkan lagu.


Secara keseluruhan, di luar segala kekurangan-kekurangan yang sebenarnya bisa dicegah itu, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck tetap merupakan sebuah pencapaian yang luar biasa dalam sinema kita dan sebuah bukti nyata bahwa industri perfilman Indonesia sedang bergerak cepat menuju ke kematangan dan kedewasaan yang sudah kita damba-dambakan sejak lama.[]


Rating : ★★★




You Might Also Like

4 comments

Just do it.