INTO THE STORM (2014) REVIEW

8/07/2014 07:39:00 PM



2014 / Warner Bros. Pictures / Steven Quale / 1.85:1 / PG-13

Into the Storm berkisah tentang seorang wakil kepala sekolah bernama Gary (Richard Armitage) yang berusaha menyelamatkan putra sulungnya yang terperangkap di sebuah pabrik kertas, setelah tornado paling mengerikan dalam sejarah menghancurkan seisi kota tempat tinggal mereka.


Into the Storm adalah film yang 'istimewa'. Jika ini adalah jawaban yang anda harapkan, mungkin anda bisa berhenti membaca review saya, dan segera membeli tiketnya.

Oke. Back to topic. Into the Storm disutradarai oleh Steven Quale, yang sebelumnya sudah berpengalaman menggarap installment teranyar (sekaligus terbaik) Final Destination 5 untuk Warner Bros., dan juga menjadi asisten sutradara James Cameron ketika menggarap Avatar (2009). Dengan CV luar biasa seperti itu, tentunya, kepiawaiannya dalam menggarap film disaster sudah tidak perlu diragukan lagi. 

Gaya penceritaan yang diusung oleh Into the Storm juga bisa dibilang unik dan tidak biasa apabila dibandingkan dengan film-film disaster yang sudah lebih dulu dirilis. Sejak menit pertama sampai menit terakhirnya, film ini tidak pernah menggunakan gaya dan konsep yang sama dalam menyampaikan ceritanya.


Total ada tiga macam konsep narasi yang dipakai: pertama, seperti yang akhirnya dipilih oleh tim marketing Warner Bros. untuk memasarkan film ini, adalah konsep mockumentary / found-footage. Kedua, setelah konsep film dokumenter yang ternyata hanya digunakan untuk memperkenalkan para karakternya dan berakhir sebagai sebuah marketing gimmick saja, kita akan mulai ditanami ide kalau Into The Storm hendak bercerita dengan konsep interwoven plot, di mana karakter-karakter yang tidak saling mengenal ini akan bertemu di satu titik dan berjuang bersama-sama untuk menjadi penyintas tornado maut ini. Oke, konsep kedua ini memang sempat saya anggap sebagai sweet surprise dan membuat perut saya dipenuhi oleh kupu-kupu, karena memang tidak ada yang lebih menarik daripada sebuah film disaster yang diceritakan melalui banyak sudut pandang. 

Tetapi segera kesampingkan rasa excitement anda, karena pada menit ini, anda seharusnya sudah mulai mencium sesuatu yang sangat tidak beres. Strutuk tiga puluh menit awal Into the Storm tersusun begitu buruk dan mengalir tanpa arah. Berjibun karakter baru terus-menerus bermunculan di layar dan saling memperkenalkan dirinya tanpa ada satu pun yang berhasil membuat kita tertarik untuk melihat mereka menyelamatkan diri dari badai, ataupun untuk sekedar mengingat nama mereka sekalipun. Bahkan mungkin kita berharap mereka semua tewas karena karakter-karakter mereka begitu menjengkelkan dan stereotip. Salahkan John Swetnam (Step Up All In, Evidence) selaku penulis naskahnya.


Total ada tiga kubu karakter yang diperkenalkan: para ahli cuaca, para penantang maut (yang seharusnya dihilangkan saja karena peran mereka tidak lebih dari segerombolan pemanjang durasi), dan keluarga wakil kepala sekolah. Apabila anda sudah mengetahui kalau durasi film ini hanya 89 menit, maka anda tentu bisa menebak kalau sudah tidak mungkin lagi karakter-karakter tersebut bisa berkenalan baik dengan penontonnya. Maka, karakter utama yang pada akhirnya menjadi bintang utama dan menjadi fokus penonton hanya satu (dan sudah ada clue-nya di posternya), yakni sang badai itu sendiri. Genius. 

Untung saja, tim visual effects dan penata suara Into the Storm berhasil menciptakan badai CGI yang bisa berakting dengan sangat natural dan memikat, bahkan melebihi karakter-karakter manusianya sendiri. Banyak yang mencurigai kalau Andy Serkis diam-diam mengenakan kostum motion capture-nya dan memerankan si badai di waktu senggangnya.

Karakter badai tersebut, jelas, langsung menjadi karakter sentral dalam Into the Storm yang begitu sukses menciptakan thrills yang padat semenjak pertama kali kemunculannya, dan memberi hiburan non stop selama satu jam penuh. Mayhem yang ditimbulkannya mungkin belum mencapai level film-film Roland Emmerich, tetapi itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Into the Storm sebagai sebuah film hiburan ringan di akhir minggu.


Overall, bisa ditebak dari perlakuan Warner Bros. yang dingin terhadap film ini, Into the Storm adalah film blockbuster rasa kelas B yang nyaris gagal di seluruh aspeknya, kecuali tata visual effects dan thrills yang berhasil menahan para penonton untuk tetap duduk pahit di kursinya.



Rating: ★★


You Might Also Like

0 comments

Just do it.