Machine Gun Preacher (2011) Review
12/05/2011 07:48:00 PM
Apakah Machine Gun Preacher berhasil menjadi sebuah tontonan yang emosional seperti yang dijanjikan di trailernya, atau malah menjadi film yang berlebihan, klise dan tak terarah? Read my review.
Machine Gun Preacher merupakan salah satu film kelas Festival yang jarang terdengar gaungnya. Film yang masuk dalam official selection Toronto International Film Festival ini juga tidak dirilis secara wide di America sana, sehingga total perolehannya hanya $538.690 dari budgetnya yang mencapai $30 million! Dan jujur, sebelum trailernya dirilis, saya sendiri tidak pernah mendengar perihal film yang disutradarai oleh Marc Forster ini. Sehingga ketika film ini tayang di bioskop tanah air, saya terkejut bukan main; karena seperti yang kita ketahui, importir cenderung menghindari film seperti ini. Meski demikian, saya memutuskan menyaksikan film yang diadaptasi dari kisah nyata ini tanpa ekspetasi sama sekali. Dan... Machine Gun Preacher cukup sukses membuat saya terpesona.
Garis besar film ini bercerita mengenai perjalanan hidup Sam Childers (Gerard Butler), seorang narapidana yang baru keluar dari penjara. Hidupnya sungguh menyedihkan : miskin, kasar, pecandu narkoba dan hidup dari merampok. Namun semuanya berubah ketika Sam membunuh seorang gelandangan. Istrinya, Lynn Childers (Michelle Monaghan), seorang penari telanjang yang bertobat, mengajak Sam ke Gereja untuk memohon pengampunan dan menenangkan pikiran Sam yang tengah kacau balau. Tuhan berhasil mengubah hidup Sam. Ia bertobat dan kemudian melakukan perjalanan ke Africa untuk memperjuangkan hak asasi anak - anak di sana.
Sipnosis di atas mungkin sudah cukup untuk menggambarkan isi film ini. Machine Gun Preacher lebih dari sekedar film bakti sosial, namun juga merupakan cermin raksasa di dalam bioskop yang ditujukan untuk para penonton yang tidak pernah bersyukur dalam hidupnya. Marc Forster, sang sutradara, dengan lihai-nya mempermainkan emosi tiap penonton hingga menitikkan air mata lewat permainan visual penderitaan anak - anak di Africa tanpa memerlukan dialog dan adegan yang berlebihan. Selain itu, dilema dan permasalahan dalam keluarga Sam yang ditimbulkan aksinya di Africa juga disajikan dengan bagus dan berhasil membuat kita semua sadar bahwa segala sesuatu di dunia ini memiliki limit tertentu yang tidak seharusnya dilanggar. Adegan aksi yang berdarah - darah berserta dengan ledakan - ledakan tidak lupa diselipkan agar Machine Gun Preacher tidak terlalu monoton dan tidak membosankan. Akting Gerard Butler sebagai Sam Childers juga powerful, memikat sekaligus membuktikan bahwa ia adalah aktor serba bisa yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Sayangnya, untuk sebuah film biografi, Machine Gun Preacher kurang bagus dalam menceritakan awal liku - liku kehidupan Sam Childers. Alur perkenalan dan evolusi dalam diri Sam dibuat terlalu cepat, singkat, tidak masuk akal dan terkesan menggampangkan. Akibatnya, karakter Sam berubah hanya dalam durasi 30 menit saja; padahal untuk film - film sejenis, hal ini akan memakan durasi cukup panjang untuk menceritakan dilema dan perkembangan karakter lebih dalam. Sedangkan sisa 1,5 jam dari film ini dihabiskan di Africa yang akhirnya berujung pada kesan monoton, alur yang lambat dan beberapa scene terasa membosankan; meski Marc sudah berusaha menyelipkan adegan aksi di dalamnya. Selain itu, si penulis naskah tampaknya lupa untuk memberikan sedikit penjelasan kepada para penonton yang tidak suka membaca koran dan menonton berita mengenai asal usul, perkembangan dan kondisi perang saudara di Africa ataupun organisasi sukarelawan yang diterjunkan di sana. Akibatnya, penonton tersebut agak bingung dan terpaksa harus mengarang cerita sendiri. Ending anti - klimaks-nya sendiri mungkin juga membuat bete beberapa penonton karena film harus berakhir pada moment yang tidak semestinya.
Overall, Machine Gun Preacher adalah film yang cukup bagus, mengharukan, menyesakkan dada, tak terlupakan dan memiliki nilai - nilai moral kehidupan yang tinggi; meski menurut saya film ini gagal untuk menyajikan narasi yang solid. Dan bagi kalian yang religius ataupun yang kurang menghargai hidupnya, film ini wajib kalian tonton. Seusai menyaksikan film ini, saya yakin sebagian besar dari kalian akan ada keinginan untuk melakukan aksi sosial atau sekedar memberi sedekah kepada fakir miskin.
For Sam Childers : You are the real superhero.
0 comments
Just do it.