SOEGIJA (2012) REVIEW

6/25/2012 10:14:00 PM



Dibandingkan dengan negara lain seperti Amerika dan Cina, Indonesia adalah salah satu negara yang sangat jarang mengangkat kisah sejarah negaranya sendiri ke medium film. Hal - hal yang selalu dijadikan alasan oleh para sineas tanah air adalah besarnya budget pembuatan yang dibutuhkan ataupun kontroversi yang akan ditimbulkan apabila film tersebut sedikit banyak mengangkat isu - isu yang sensitif. Belum lagi kegagalan trilogi Merah Putih untuk menutup biaya produksi-nya yang konon sebesar 50-60 milliar rupiah membuat para produser dan petinggi studio lebih memilih untuk bermain di jalur aman (baca : membuat film horror esek esek). Dan untuk tahun ini, giliran Garin Nugroho yang mengangkat kisah perjuangan bangsa Indonesia ke layar lebar dengan budget sebesar 12 miliar. Apakah film ini akan sukses baik secara kualitas dan perolehan rupiahnya? Let’s find out.


Mirip dengan trilogi Merah Putih, film Soegija juga berkisah tentang perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah dan memperjuangkan kemerdekaan dalam kurun waktu tahun 1942 sampai dengan tahun 1948. Namun, apabila trilogi Merah Putih bercerita dari sudut pandang militer, garis besar film Soegija dikisahkan lewat empat sudut pandang tokoh utamanya yang berbeda latar belakang : Soegija, seorang uskup agung pertama di Indonesia; Ling - Ling yang berasal dari keluarga Tionghoa; Mariyem, seorang perawat yang kakaknya bergabung dengan tentara perjuangan; dan Hendrick Van Maurick, seorang wartawan Belanda yang meliput kegiatan tentara Belanda di Indonesia. 
Namun patut disayangkan, semua kisahnya itu gagal untuk memberi kesinambungan dan koneksi benang merah cerita antar karakter yang baik; seperti halnya yang berhasil dilakukan oleh film - film sejenis, seperti Traffic (2000), 21 Grams (2003) dan Babel (2006). Ironisnya lagi, tokoh utama yang dijadikan judul film ini, Soegija, justru memiliki peran yang sangat sedikit dan kalah telak apabila dibandingkan dengan perjuangan karakter - karakter lain di sepanjang durasi 120 menitnya. Naskah yang ditulis oleh Garin dan Armantono juga termasuk gagal dalam menyuguhkan sebuah kisah perjuangan dari beragam sudut pandang. Alur film ini tidak terarah sama sekali; menipu ekspetasi para penontonnya yang mengharapkan sebuah film biografi dari Soegija, namun juga gagal untuk memukau para penonton yang sudah terlanjur kecewa ini dengan beragam sudut pandang yang disuguhkan dalam film ini, yakni pihak Indonesia, Belanda ataupun Jepang berkat penulisan kisahnya yang terasa setengah - setengah dan tidak dipoles secara maksimal. Akibatnya, tidak jarang ketika para penonton sudah mulai terhisap dengan karakter utamanya, film ini langsung meloncat indah ke kisah lain dengan editing serta jarak lompatan yang tidak tanggung - tanggung. Garin hanya menjelaskan apa saja yang terjadi dalam lompatan tersebut lewat seorang penyiar radio, yang dengan kata lain berperan sebagai narator film ini. Sebuah cara “malas” yang biasanya selalu dilakukan oleh siswa SMP - SMA ketika menulis drama panggung.
[Notes : Di sisi lain, hal ini mungkin akan menyebabkan beberapa penonton mengamini isu yang sempat beredar baru - baru ini (sudah dibantah) bahwa film Soegija mengalami pemotongan selama 1.5 jam dari durasi-nya yang sepanjang 3 jam; apalagi menilik kualitas perkembangan tiap karakternya yang cukup bagus dan menarik.]

Tetapi, di luar segala kesalahan dan kekurangannya itu, Soegija masih memiliki senjata rahasia yang membuat para penonton akan kesulitan untuk membenci film ini : production value. Seberapa bencinya penonton tersebut terhadap cara bertutur Garin di film ini, mereka tidak bisa menyangkal bahwa set tempat, kostum, musik, sound, serta cinematography dalam film Soegija ini sangat berkelas, spektakuler, indah, dan menakjubkan. Mulai dari bagaimana penataan angle camera-nya, tone sephia-nya, hingga kostum serta set tempat yang begitu mendetail dan jaw-dropping telah berhasil menunjukkan betapa besarnya ambisi Garin dalam menyajikan kisah sejarah Indonesia agar bisa tampil sekelas dengan film - film sejarah produksi Cina dan Amerika secara visual. Alunan musik dan remix lagu daerah “Bunga Anggrek” juga sangat memorable dan indah (walau sayang, lagu ini tidak dimasukkan di CD Soundtrack-nya). Akting para bintangnya juga cukup baik dan bisa mendalami karakternya masing - masing. 
Overall, meski perjalanannya menuju ke tingkat masterpiece terhambat oleh kualitas narasi-nya yang buruk (mari kita semua berharap akan ada versi Extended Cut-nya nanti....), tidak bisa dipungkiri bahwa Soegija adalah salah satu film Indonesia terindah yang pernah dibuat. And that’s truly worth your ticket admission.


You Might Also Like

4 comments

  1. At first I thought the same as you,
    tapi kemudian setelah berdiskusi dengan teman yang mempelajari ilmu komunikasi dan kebetulan sempat mendalami pesan semiotika di karya2 Garin Nugroho.
    Ternyata memang begitulah gaya bertutur Garin, bukan tipe naratif tiga babak seperti pakem film biasa. Ia bercerita ttg pemikiran Soegija melalui karakter2 fiktifnya.

    I, myself, am willingly to make a revisit to more understand and enjoy this movie even more.

    Oh iya, resensi di filmindonesia.or.id juga bisa dijadikan acuan memahami (film) Soegija lbh dalam.

    ReplyDelete
  2. belum ada review Brave sama Abraham Lincoln nih?

    ReplyDelete
  3. @vincentjose : Kalau begitu dia mesti mematangkan gaya-nya itu. Karena selama menonton gw sama sekali tidak merasa kalau Garin menggambarkan karakter Soegija lewat karakter fiktif-nya karena tidak ada "petunjuk"-nya sama sekali.

    Tetapi kalau mau disambung - sambungkan juga bisa seperti si wartawan menggambarkan perasaan iba terhadap penderitaan rakyat dan merasa bahwa penjajahan itu kejam, lalu Mariyem yg sangat care dengan rakyat dan membenci penjajah, trus Ling-Ling yang merasakan ketidak-adilan akibat penjajahan itu, kemudian pasukan pemuda yang terus memperjuangkan kemerdekaan..

    Cuman menurut gw cara pendekatan dan penggambaran Garin terhadap karakter Soegija itu salah dan kesannya maksa, belum lagi loncatan timeline dan editing-nya yang tidak tanggung - tanggung itu... justru membuat narasi film ini terlihat kacau daripada memberi kesan dan pesan yang mendalam.

    btw, ini cuma opini dari gw aja. Hehehe.

    ReplyDelete
  4. @arul fittron : sedang dalam proses penulisan kok. hahaha ;)

    ReplyDelete

Just do it.