GODZILLA (2014): THE GLORIOUS REBOOT YOU’VE BEEN WAITING FOR

5/16/2014 10:44:00 PM


2014 / US / Gareth Edwards / 2.39:1 / PG-13 

Mereboot sebuah franchise memang bukan hal yang mudah, terlebih lagi untuk sebuah franchise setua dan sepopuler Gojira (Godzilla) yang sudah berlalu-lalang di industri perfilman dan merchandise sejak debutnya di tahun 1954. Godzilla rilisan tahun 2014 ini sendiri juga bukan usaha pertama Hollywood untuk mengeruk keuntungan dari franchise tersebut. Mereka sudah mencobanya lewat remake di tahun 1956, Godzilla: King of the Monsters, yang banyak menggabungkan footage versi Jepang dengan footage baru yang melibatkan aktor Amerika. Kemudian ada remake Godzilla arahan Roland Emmerich di tahun 1998 yang begitu terkenal atas kesuksesannya dalam mencoreng nama baik Godzilla di mata penonton internasional yang masih awam terhadap franchise tersebut.


Tanggapan negatif ini membuat Sony mengurungkan niatnya untuk membuat sekuel Godzilla meski penghasilan box office-nya sangat memuaskan dan mengembalikan hak ciptanya ke Toho. Sekitar tahun 2003-an, Warner Bros. berhasil membeli hak cipta Godzilla dari Toho dan mulai mengembangkan film reboot-nya sejak itu bersama dengan rekannya, Legendary Pictures. Kurang lebih satu dekade kemudian, film reboot Godzilla (yang katanya akan sangat setia dengan versi aslinya) akhirnya berhasil menemui titik terangnya di bawah arahan sutradara berbakat Gareth Edwards yang sempat mengguncang dunia perfilman lewat film alien invasion budget kecilnya, Monsters. Apakah sutradara yang jam terbangnya masih rendah ini berhasil memberikan suguhan film Godzilla yang dinanti-nantikan oleh para fans?

Godzilla dibuka dengan potongan-potongan berita yang menceritakan tentang misteri monster misterius yang muncul di lautan Samudra Pasifik dan usaha pemerintah setempat untuk membunuhnya dengan bom nuklir. Fokus cerita kemudian berpindah ke Jepang dan menceritakan tentang ilmuwan bernama Joe Brody (Bryan Cranston) yang harus menjadi saksi kematian istrinya akibat kebocoran radiasi di pabriknya. 

Lima belas tahun kemudian, beliau masih berjuang untuk membuktikan bahwa teori-teorinya tentang makhluk misterius itu mempunyai hubungan terhadap bencana di pabriknya. Lambat laun, pemerintah dan masyarakat dunia mulai menyadari bahwa teorinya itu benar, bahwa ada sosok monster misterius yang hendak mengembalikan dunia ke zaman purba.

Ada dua tanggung jawab besar yang harus berhasil dituntaskan oleh Gareth Edwards di film ini: pertama, membuat film Godzilla-nya disukai para fans. Kedua, membuat para penonton generasi baru jatuh cinta pada Godzilla. Sayangnya, meski para fans terbukti memberikan sambutan hangat untuk film ini berkat kesetiaan dan penghormatan Godzilla reboot terhadap versi aslinya, pendekatan yang dilakukan oleh Gareth Edwards telah membuat film Godzilla terbaru ini tidak bisa dinikmati oleh semua orang. 


Problematika utama yang bisa penonton awam rasakan ketika menonton film ini adalah, bahwa sebanyak dua per tiga dari film Godzilla cenderung diceritakan lewat sudut pandang tiga karakter utama manusianya: Ford Brody (Aaron Taylor-Johnson) dan istrinya, Elle Brody (Elizabeth Olsen); ilmuwan Jepang, Dr. Ichiro Serizawa (Ken Watanabe) yang berpegang teguh pada teorinya yang kontroversial; dan tentara Amerika yang hendak merobohkan semua monster yang mengamuk tersebut tanpa pandang sisik. Konsep narasi ini jelas akan membuat banyak penonton yang mengharapkan film monster vs. monster tradisional yang kurang lebih sealiran dengan film Pacific Rim kecewa berat karena adegan pertarungan antar monster  tersebut cenderung sangat sedikit dan cenderung anti-klimaks. 

Tetapi bagi penonton yang tidak berekspetasi apa-apa, mereka akan menemukan bahwa pendekatan yang dilakukan oleh Gareth Edwards ini termasuk cerdas dan tidak biasa untuk genre film monster vs monster. Konsep usungannya tersebut membuat Godzilla terasa seperti film natural disaster dengan aura misterius yang pekat, atmosfir yang kelam, dan alur cerita yang intens. 

Sayangnya, naskah tulisan Max Borenstein gagal untuk menghadirkan karakter-karakter manusia yang realistis dan menarik untuk membuat penonton peduli dengan nasib mereka selanjutnya. Akibatnya, konsep brilian yang diusung film ini cenderung tidak dapat meninggalkan kesan yang diharapkan dan penonton lebih memilih untuk menunggu pertarungan Godzilla melawan monster lainnya, yang sayangnya, tidak pernah tampil dahsyat di layar bioskop. 

Tetapi untungnya, di luar kelemahan-kelemahannya itu, ada empat hal yang sudah pasti tidak akan mengecewakan penonton. Yang pertama, tentu saja, adalah tata visual effects-nya yang spektakuler dan berhasil menghadirkan visual kehancuran dunia yang luar biasa epik dengan tingkat kerealistisan yang tidak akan pernah penonton lihat sebelumnya. 

Kedua, musik gubahan Alexandre Desplat yang begitu sukses mengaransemen ulang theme music Godzilla klasik dalam kemasan modern yang fantastis dan sanggup memperpekat atmosfir dalam filmnya. 

Ketiga, adalah penampilan Bryan Cranston yang spektakuler dan kehadiran beberapa aktor kaliber Oscar yang tidak pernah kalian duga bisa tampil dalam satu film yang sama, seperti Sally Hawkins, Ken Watanabe, David Strathairn, dan dua aktor muda yang sedang naik daun, Aaron Taylor-Johnson dan Elizabeth Olsen, di mana keduanya juga akan tampil di The Avengers 2 tahun depan. Terakhir, gaya directing Gareth Edwards yang menarik dan unik yang jelas akan membuatnya menjadi salah satu filmmaker berbakat dengan masa depan cerah di Hollywood.


Overall, Godzilla tetap merupakan sebuah film monster yang fenomenal dan berhasil mengembalikan nama baik Godzilla di mata penonton internasional seperti yang diharapkan oleh semua fans fanatiknya. Tetapi sayangnya, Gareth Edwards mengemasnya dengan konsep yang tidak biasa, dan itu artinya, tidak semua penonton bisa mengapresiasi ketidakbiasaannya itu.[]


Rating: ★

Follow my twitter: @Elbert_Reyner



You Might Also Like

0 comments

Just do it.