Franchise horror Final Destination akhirnya telah mencapai seri ke 5nya. Seperti seri ke 4nya, Final Destination 5 akan tampil dalam wujud 3D. Tetapi apakah film ini hanyalah pengulangan dari seri - seri sebelumnya atau berhasil memberi nafas segar seperti yang dijanjikan di trailernya?
Let's find out.
Proyek reboot Conan the Barbarian sebenarnya sudah akan dibuat sejak tahun 2006 lalu, namun banyak sekali halangan yang terjadi mulai ganti - ganti sutradara, sampai perpindahan hak cipta dari Warner Bros ke Paradox Entertainment yang kemudian didistribusi-kan oleh Lionsgate. Marcus Nispel pun ditunjuk sebagai sutradara, dan rasa antusias saya langsung anjlok. Bagaimana tidak, Marcus Nispel adalah sutradara di balik film - film yang kualitasnya di bawah rata - rata : Pathfinder, Friday the 13th remake, Texas Chainsaw Massacre remake, dsb. Belum lagi susunan penulis naskahnya adalah penulis naskah film - film buruk : Dylan Dog dan A Sound of Thunder. Dengan budget sebesar $90 million dan kru - kru yang tidak meyakinkan tersebut, apakah film reboot Conan the Barbarian ini berhasil memenuhi harapan para penonton?
Tidak ada yang pernah menyangka kalau The Hangover akan menjadi film komedi R-rated terlaris sepanjang masa dengan total perolehan US$277,3 million untuk peredarannya di US saja. Hal ini tentu saja disebabkan oleh kisahnya yang orisinil dengan tingkat kelucuan yang tinggi. Dengan total pendapatan US$467 million di seluruh dunia dari budget yang hanya $35 million, Warner Bros langsung memberi lampu hijau untuk penggarapan sequel-nya tanpa berpikir lebih lanjut. Semua pemeran utama dan sutradaranya pun berhasil dipertahankan, sedangkan penulis naskahnya diganti. Budget yang diberikan pun membengkak lebih dari 2 kali lipat menjadi $80 million.
Pertanyaannya, apakah The Hangover part 2 bisa memenuhi ekspetasi tinggi dari para penggemarnya?
Karena teknologi 3D sekarang semakin banyak digunakan di Hollywood untuk menambah pemasukkannya di box office, maka saya tertarik sekali untuk membuat 3D review. Beberapa hal yang perlu diketahui. Pertama, saya menonton film - film 3D hanya di XXI yang notabene menggunakan teknologi Dolby 3D (di Surabaya tidak ada Blitz), sehingga hasilnya mungkin agak berbeda dengan yang di blitzmegaplex yang memakai Real D 3D. Kedua, Meski Real D 3D lebih populer digunakan di bioskop seluruh dunia, sebenarnya kedua teknologi 3D ini memiliki plus - minus sendiri dan sepengetahuan saya (dari teman - teman yang sekolah di luar negeri), efek 3Dnya tidak begitu berbeda. Hanya masalah psikologis saja. Ketiga, masyarakat sering salah mengartikan efek 3D. Mereka beranggapan bahwa efek 3D berarti efek gambar keluar dari layar (pop-out). Sebenarnya pengertian ini benar, tetapi hollywood lebih mengutamakan efek kedalaman (depth) yang membuat para penonton serasa menyaksikan adegan - adegan film dari jendela rumahnya atau bahkan merasa berada di dalam adegan itu sendiri. Sedangkan untuk efek pop-out agak dihindari karena susah untuk membuat adegan pop-out agar tidak terlihat dipaksakan.
Tahun 2011 adalah tahun kejayaan bagi film - film prequel-reboot dan juga bagi salah satu studio besar Hollywood, 20th Century Fox. Bagaimana tidak, kedua film summer unggulannya, X-Men First Class dan Rise of the Planet of the Apes, berhasil menuai pujian dari kritikus, sukses di tangga box office dan sekaligus berhasil memberi nafas baru terhadap franchise besarnya ini.
Pada awalnya, film ini dipandang sebelah mata oleh para pecinta film karena film ini sempat berpindah - pindah jadwal tayang, penunjukkan sutradara yang tidak berpengalaman, poster yang buruk, dan tentunya, 20th Century Fox memaksakan untuk memakai brand "Planet of the Apes" untuk menarik penonton, alhasil judul film ini menjadi tidak lazim : Rise of the Planet of the Apes. Hanya saja, ntah kenapa Apes malah menjadi film summer ke tiga yang paling saya tunggu - tunggu kehadirannya tahun ini setelah Harry Potter 7b dan X-Men First Class. Dan setelah selesai menyaksikannya kemarin malam, saya menjadi agak yakin kalau saya memiliki indera ke enam (hoek).
Peperangan antara DC dengan Marvel memang masih terus berlanjut, namun untuk tahun 2011 ini, tampaknya pihak DC memang harus menelan pil pahit. Green Lantern-nya gagal total baik secara kualitas maupun di tangga box office. Sementara Marvel unggul dengan tiga film superhero-nya yang tidak hanya sukses di box office seluruh dunia, namun dari segi mutu, film - film mereka termasuk bagus. Mulai dari X-Men First Class yang mengejutkan, lalu Thor dan Captain America yang memperoleh tanggapan cukup positif dari kalangan kritikus. Namun kebanyakan komplain dari mereka adalah bahwa kedua film tersebut terkesan seperti benang merah menuju ke proyek Marvel yang sebenarnya : The Avengers. Hal ini tidak bisa dipungkiri. Embel - embel subtitle "The First Avenger" di belakang judul film ini juga semakin memperkuat anggapan bahwa Captain America hanyalah sebagai benang merah The Avengers. Namun apakah benar demikian?
Stanley Kubrick bukanlah nama yang asing di telinga para pecinta film. Beliau adalah salah satu sutradara film terbaik dan legendaris di dunia berkat karya - karyanya yang selalu menuai pujian dari kritikus ataupun para penggemar film. Film-nya yang paling fenomenal tidak lain adalah 2001 : A Space Odyssey yang telah dirilis pada tahun 1968, 43 tahun silam. Selain sangat terkenal di dunia perfilman, 2001 juga termasuk dalam daftar film terbaik sepanjang masa. Bahkan di beberapa situs dan media, film ini duduk di peringkat nomor 1. Setelah menonton film ini, saya mengerti alasan kenapa film ini bisa sedemikian fenomenal.
Terrence Malik adalah salah satu sutradara film paling hebat abad ini. Apabila Christopher Nolan dan David Fincher ahli dalam meracik plot yang orisinil, gelap dan kompleks, Terrence Malik mampu membuat sebuah film dengan visualisasi yang sangat indah, abstrak dan memberi pengertian yang berbeda dalam diri tiap penonton. Namun ada dua kesamaan di antara mereka bertiga, yaitu : mampu memberikan pengalaman menonton tak terlupakan di bioskop dan film karya mereka bukan konsumsi semua orang. Hal ini juga berlaku untuk karya terbaru Terrence Malik yang berjudul The Tree of Life.
Terhitung sudah ada 6 film summer blockbuster yang dipastikan akan hadir di bioskop Indonesia. Yeah, karena Indonesia terkena dampak "Global Warming", summer kita mundur di bulan Agustus - September.
Berikut trailer dari film blockbuster yang akan dirilis bulan ini (beberapa di antara-nya sudah ada review-nya) :
"Never give up" atau jangan pernah menyerah merupakan salah satu nilai moral yang sudah banyak disematkan di film - film baik produksi Hollywood ataupun produksi negeri lain. Bahkan karya terbaru Hanung Bramantyo, Tendangan dari Langit, juga memakai moto tersebut.
Diadaptasi dari kisah nyata, Conviction juga kurang lebih mengandung nilai moral yang sama. Pertanyaannya, apakah film ini berhasil mengeksplor nilai ini dengan baik?