ELYSIUM (2013) REVIEW : NOTHING MORE THAN MEETS THE EYE

8/23/2013 06:59:00 PM



2013 / Sony Pictures / US / Neill Blomkamp / 107 Minutes / 2.39:1 / R


“I know what makes you a boy. Your bald head. It’s really smooth. Sometimes I stare at it, I imagine a little chick popping out. Peep-peep-peep-peep.” -Agnes.

Neill Blomkamp, sutradara kulit putih kelahiran Afrika, sempat mengguncang dunia perfilman lewat film sci-fi District 9 hasil kolaborasinya dengan Peter Jackson yang dirilis tahun 2009 silam. Tidak hanya sukses secara komersil, film ini juga disukai oleh banyak penonton dan kritikus di seluruh dunia sampai-sampai juri Oscar tidak segan menganugerahinya empat nominasi Oscar, termasuk Best Picture, Best Adapted Screenplay, Best Editing dan Best Visual Effects. Dengan prestasi gemilang seperti ini, Blomkamp jelas tidak perlu susah payah lagi mencari studio yang mau mendanai dan mendistribusikan proyek film sci-fi terbarunya, Elysium, yang akhirnya jatuh di tangan Sony Pictures dengan total biaya produksi sebesar $100 juta. 



Alkisah pada tahun 2154, bumi sudah tidak layak ditinggali karena kerusakan alam akibat global warming dan populasi manusia yang tidak terkontrol. Orang-orang kaya pun rela untuk menghabiskan separuh kekayaannya untuk tinggal di Elysium, sebuah planet artifisial yang mengorbit di sekeliling bumi, dan meninggalkan rakyat-rakyat miskin untuk tetap tinggal di bumi dan bekerja di industri yang dapat mempertahankan kehidupan mewah di Elysium.

Max (Matt Damon) adalah satu dari sekian banyak orang miskin yang bermimpi untuk dapat hidup sejahtera di Elysium. Namun impiannya tersebut kandas ketika dirinya diberitahu bahwa masa hidupnya tinggal lima hari akibat kebocoran radiasi yang menimpanya waktu kerja. Tidak ingin menyia-nyiakan sisa hidupnya itu, Max kemudian bertekad untuk mengemban misi rahasia di Elysium yang dapat membawa keadilan dan persamaan derajat manusia di kedua dunia. 


Elysium’s Biggest Problem : Originality.

Problem utama yang selalu menghantui Hollywood, dan mungkin industri perfilman di belahan dunia lain, adalah kekeringan ide cerita untuk diangkat ke medium film. Coba anda reka kembali sudah berapa banyak film sci-fi post-apocalypse yang mengangkat premise seperti ini, mulai dari yang berbudget sedang seperti Upside Down, In Time, sampai yang berbudget besar seperti Total Recall tahun lalu, semua memiliki plot dasar yang serupa : dunia orang kaya vs. dunia orang miskin. So yes, satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan film-film sejenis adalah eksekusi, pengembangan dan bumbu-bumbu kreatifitas untuk membuat premise seperti ini dapat tampil berbeda dengan film-film yang serupa. 

Sayangnya, Elysium cenderung kurang berinovasi di segmen cerita. Segala hal yang disajikan di film ini dapat dikatakan predictable, cenderung straight-forward tanpa twist, dan terlalu familiar di berbagai aspek yang sepertinya mustahil untuk tidak dihiraukan sedikitpun. Karakter-karakter utama dalam film ini juga cenderung black and white tanpa ada konflik dan karakterisasi yang menarik dalam diri mereka masing-masing meski Matt Damon, Sharlto Copley, dan Joddie Foster sudah mengerahkan apa yang mereka punya. Akibatnya, tensi menjadi terasa kendor di pertengahan film ketika Elysium sudah selesai memperkenalkan dirinya dan mulai masuk ke ranah been-there, done-that sampai akhir film.


Untunglah, gaya directing Neill Blomkamp yang stylish dan matang dengan taburan efek visual canggih dan adegan aksi yang menegangkan (sedikit brutal dan berdarah-darah) setidaknya masih sanggup untuk menjaga agar perhatian penonton tetap terfokus pada layar. Blomkamp juga tak lupa kembali melayangkan sindiran-sindiran sosial yang thought-provoking dan menohok (terutama yang menyangkut tempat kelahirannya di Afrika) melalui feature film keduanya ini. Setelah menyinggung perilaku manusia yang barbar terhadap pendatang asing dalam film District 9, Blomkamp kini bermain-main di wilayah bahasan yang lebih luas, yakni pola pikir manusia yang begitu mendewakan harta dan kekuasaan lebih dari apapun sampai kehilangan jati diri mereka sebagai makhluk sosial, jurang antara rakyat miskin dengan kaya, sampai perilaku rasisme yang begitu kental. Semua itu berhasil disampaikannya dengan baik pada momen-momen yang tepat. Dan kalau boleh jujur, sindiran-sindiran tersebut dapat dikatakan sebagai nyawa dan salah satu aspek yang paling saya sukai dan saya harapkan dapat menjadi trademark Blomkamp di film-filmnya yang akan datang.


Overall, tidak adil apabila kita membandingkan Elysium dengan District 9--sebab film itu memang one-in-a-million--ataupun menuduh sembarangan kalau Neill Blomkamp sedang berjalan di jejak M. Night Shyamalan yang kualitas filmnya terus menurun--it’s too soon, karena secara keseluruhan, Elysium masih merupakan film Sci-fi yang solid, menghibur dan masih (sedikit) di atas standard rata-rata film original sci-fi kebanyakan dengan selipan pesan sosialnya yang thought-provoking. Hanya saja, Elysium tidak dapat bertahan lama di memori dan hati.


Rating : 
Length : 728 words
Mid / After Credits Scene : N/A
Review by : @Elbert_Reyner


You Might Also Like

2 comments

  1. Setuju sekali! Elysium diselamatkan oleh penyutradaraan Blomkamp.
    Sayang banget Elysium rilis setelah another satellite-ass di Oblivion. Terasa agak deja vu jadinya

    ReplyDelete

Just do it.