Wrath of the Titans (2012) Review

3/31/2012 08:26:00 PM


Sudah bukan rahasia lagi bahwa film Clash of the Titans memiliki reputasi yang tidak baik di mata para pecinta film; mulai dari kualitas jalan ceritanya, akting hingga adegan aksi-nya yang monoton dan membosankan. Tidak hanya itu, film ini juga sangat mengubah cara pandang para penonton terhadap film - film 3D hasil konversi, berkat kualitas efek 3Dnya yang tidak hanya sekedar ‘tidak terasa sama sekali’, tetapi juga kualitas gambarnya yang gelap dan hancur. Lantas, apa yang membuat Warner Bros begitu menggebu - gebu ingin merilis sequelnya? Well, tentu saja berkat pemasukannya yang sangat menguntungkan : $493 million di seluruh dunia, dari budgetnya yang “hanya” $125 million. Dalam sequel-nya kali ini, Warner Bros mendudukkan Jonathan Liebesman (Battle : Los Angeles) di kursi sutradara, menggantikan Louis Leterrier; menyuntikkan dana yang lebih besar lagi, dan (obviously) memperbaiki kualitas 3Dnya secara menyeluruh. Apakah usaha Warner Bros ini berhasil meningkatkan kualitas Wrath of the Titans dibandingkan dengan predecessor-nya? Well, not really.


Melanjutkan kisah film pertamanya, Perseus (Sam Worthington) memutuskan untuk hidup berkeluarga layaknya orang biasa bersama dengan putranya, Helius (John Bell), daripada hidup berdampingan dengan para dewa dan ayahnya, Zeus (Liam Neeson) di kerajaan Olympus. Suatu hari, para dewa mulai kehilangan kekuatannya karena manusia sudah berhenti berdoa pada mereka. Hades (Ralph Fiennes) pun memanfaatkan kesempatan ini dengan mengajak salah seorang putra Zeus, Ares (Edgar Ramirez), untuk membebaskan Kronos dari Thartarus dan menjadi dewa abadi. 
First of all, plot yang diusung film ini sangat tidak berbobot dan terkesan bodoh menurut saya. Yeah, I know. Kalau menyaksikan film semacam Wrath of the Titans, para penonton tidak perlu berpikir ataupun mempedulikan alur ceritanya. Tetapi apabila sudah keterlaluan seperti yang disajikan dalam film ini, para penonton benar - benar membutuhkan obat berdosis tinggi untuk memadamkan otak mereka. Tidak hanya sudah dirangkum semuanya dalam 5 menit awalnya, penulis naskah film ini terkesan sama sekali tidak mempedulikan mythology Yunani ataupun menghadirkan alur cerita yang masuk akal. Seriously, hanya karena manusia berhenti berdoa, maka para dewa langsung hilang kekuatannya? Wow, pesan yang sangat religius sekali. Lalu banyaknya plot hole mengganggu di sepanjang film seperti [MAJOR SPOILER AHEAD!!] bagaimana mungkin Kronos bisa menghisap kekuatan Zeus kalau Zeus sudah kehilangan kekuatannya? Bagaimana bisa dewa sekelas Poseidon meninggal hanya dengan ditampar, ditinju, dan ditendang sementara Perseus yang demigod masih sanggup lari - lari walau sudah dihajar habis - habisan, dibakar Chimerra dan dibanting sana - sini? Bagaimana mungkin Hades, Kronos dan Ares masih begitu kuat ketika katanya dan gosipnya para dewa sedang kehilangan kekuatan? Berapa tingkat IQ Hades dan Ares sampai - sampai mau menyanggupi permintaan Kronos dengan imbalan yang tidak masuk akal : Immortality (They are GODS!!), kalau Kronos akan dengan begitu mudah melenyapkan mereka setelah ia bebas? Dan terlebih lagi, kok bisa ya Zeus meninggal tak terhormat di pengujung film? Well, jujur saja, saya sendiri juga kurang tahu. Atau mungkin saya kelewatan karena tanpa sadar saya sempat terlelap di bioskop?

Tidak hanya itu, tim penulis naskahnya juga menggambarkan para dewa - dewa sakti ini seperti sekumpulan manusia freak ber-armor yang loncat sana - sini (Yeah, saya tahu alur ceritanya memaksa mereka untuk tampil seperti itu, but seriously, are they really that fragile?), mengucapkan dialog - dialog cheesy dan menurut saya, mereka hanya menjadi sekedar pencetus munculnya adegan aksi penuh visual effects bombastis tanpa maksud untuk memenuh - menuhkan durasi filmnya. Lantas bagaimana dengan karakter demi-gods dan manusianya? Well, bisa ditebak : sangat parah, tidak memiliki karakter dan tidak bisa berekspresi sama sekali sepanjang film. Kalaupun para penulis naskah ini memang tidak berbakat dan bergaji rendah (perlu dicatat bahwa mereka adalah penulis naskah salah satu film terburuk tahun lalu, Red Riding Hood), setidaknya Warner Bros bisa menyuruh mereka untuk menulis cerita yang sangat simple namun make sense seperti halnya yang diusung oleh film The Raid baru - baru ini. 
Apakah adegan aksi dan taburan visual effects-nya mampu menyelamatkan film ini? Tidak juga. Seperti film - film blockbuster raksasa lainnya, Wrath of the Titans akan terus membuat telinga anda sakit sepanjang film dengan berbagai macam aksi ledakkan monoton dan serbuan visual effects luar biasa berlebihan yang membuat kepala pusing menyaksikannya. Jika anda menyukai film semacam itu (Transformers 1-3, G.I Joe, dan terutama Clash of the Titans), anda saya jamin akan mengalami orgasme berkali - kali di kursi bioskop anda sambil bersorak - sorai. Tetapi, jika anda seperti saya, anda sudah pasti akan terus menguap dan tidak betah setelah 30 menit durasi filmnya bergulir. Menurut saya, Wrath of the Titans is more frustating than entertaining dan juga sangat menyia - nyiakan talenta dua aktor favorit saya, Liam Neeson dan Ralph Fiennes.

Hanya dalam durasi 1 jam 30 menit, Jonathan Liebesman sudah berhasil membuat saya sangat sengsara dan tak henti - hentinya menguap di dalam studio bioskop dengan beragam ketololan, kedangkalan dan kebosanan; sama seperti ketika ia membuat saya kecewa habis - habisan dengan film Battle : Los Angeles-nya. Beberapa design monster, visual effects yang lumayan (walau sangat berlebihan), cameo Bill Nighy yang menyegarkan, dan efek 3Dnya yang cukup fantastis mungkin adalah secuil kelebihan yang berhasil saya temukan dalam film ini. 

Jadi, setelah membaca review penuh caci maki ini, saya berharap anda bisa menentukan apakah anda akan menyukai film ini atau tidak. Karena jelas, bahwa jenis film - film blockbuster semacam ini termasuk jenis film yang saya benci dan tidak pernah cocok dengan selera saya. 
Lalu, apakah sequel Clash of the Titans ini jauh lebih baik dibandingkan dengan predecessor-nya? Tidak. Menurut saya sama buruknya, lengkap dengan judul yang sama sekali tidak menggambarkan isi filmnya (Yeah, di film ini tidak ada titans yang sedang marah - marah). Overall, kedangkalan kualitas Wrath of the Titans ini tidak lebih daripada Conan the Barbarian yang dirilis tahun lalu (minus darah dan sex, tentunya).



You Might Also Like

12 comments

  1. Waowwwwww....saya kaget lihat review anda.Soalnya saya kasih ekspetasi tinggi buat film WOT,apalagi lihat trailer dan creature monster dewa2nya yang bengis.Saya sendiri belon lihat sih filmnya kaya apa,tapi kalo lihat pendapat anda yang bilang bisa tidur saat nonton Transformer3....saya setuju :p

    ReplyDelete
  2. Iya, formula film ini mirip dengan transformers, dsb : non-stop action penuh taburan visual effects megah dan bener2 mengesampingkan story dan karakter. Jadi ya klo cocok, bakal suka dengan film ini. Klo ga cocok kyk gw, pasti ga suka.. Haha. Btw, Sori reviewnya acak2an. Hehehe.

    ReplyDelete
  3. Review Anda menurut saya justru detail,dan ini perlu dalam review film :). Sebelum saya nonton film,saya selalu lihat rating imdb dan baca blog2 movie kaya Anda ini. So keep review bro :)

    ReplyDelete
  4. Wow, "pedas" juga ya review-nya bro... :D

    *Udah kaya sambel aja pedes...

    ReplyDelete
  5. @Cah Kentir : thanks bro :D keep reading juga ya. haha

    @Fanboy : Bingung mau nulis apa, jadi gw caci - maki aja. huahahha. selera gw kebalikan ama kamu bro. gw gak pernah cocok dengan film2 macam begini.. klo mau ngesampingin cerita lebih baik buat se-simple mungkin seperti The Raid, dengan action sequences yang lebih variatif dan kreatif...

    ReplyDelete
  6. ^^Hehe, jadi ladang makian nich berarti yak, berarti klo gw itung2 tahun ini udah hmmm, kira2 3 film yg jadi ladang kritik... Hehe...

    Awakening
    Spirit of Vengeance
    Wrath

    Moga2 Avengers nggak jadi ladang kritik... :D

    ReplyDelete
  7. Salam kenal, bro.

    Cuma mau komen dikit (tanpa bermaksud menyela atau nyari ribut), karena kita semua sama-sama demen nonton. Hehehe...

    Maksudnya ini: "Karena jelas, bahwa jenis film - film blockbuster semacam ini termasuk jenis film yang saya benci dan tidak pernah cocok dengan selera saya."

    Kalo emang dari awal jelas benci dan bukan selera, kenapa ditonton terus, brooo? :D Bukannya makin bikin stress sendiri? Kan masih banyak pilihan yang laen? :)

    ReplyDelete
  8. Nah, akhirnya ada yang nanya juga. ahahahaha. Gpp saya gak marah kok. Saya sendiri (jujur) juga nggak tau kenapa. Dari awal emang maunya skip, tapi ada rasa bersalah gimana gitu. Apalagi ini kan film high profile. Seperti ada dorongan "harus" nonton padahal sudah tau saya pasti tidak suka.

    Ibaratnya itu seperti seorang pecinta musik yang nggak suka (misal aja yang terkenal) lagu - lagunya Bieber / Taylor Swift / LInkin park. Tapi karena itu para penyanyi high profile, jadi seperti ada dorongan yang "aneh" untuk ndengerin musik mereka.

    Seperti kesannya itu, saya ini pecinta film, tapi kok belum nonton Wrath of the Titans. Inikan film high profile / blockbuster / terkenal. Begitulah kira2. Emang gak semua pecinta film/ musik seperti itu, tapi saya termasuk yang seperti itu :((

    ReplyDelete
  9. Selain itu, saya juga ingin tahu sendiri kenapa film ini dibilang buruk dan menemukan sendiri kelemahan & apa yang saya suka / tidak suka dari film tersebut. Soalnya kadang ada film yang dapet review jelek sekali, tapi malah masuk daftar guilty pleasure saya, seperti Sucker Punch. Dan saya nggak malu kalau bilang film itu bagus, karena saya tahu alasan kenapa saya suka. Hehehe. Begitulah kira2.

    ReplyDelete
  10. ^^Intinya selera orang beda2 sich bro.. Hehe...

    Btw, The Cabin in The Woods blom rilis nich disini, gw nunggu banget nich padahal.... =(

    ReplyDelete
  11. apa bedanya sama clash of the titans gan? Ato sm aja ya?

    ReplyDelete
  12. review filmnya bagus :D yang mau baca review film terbaru lainnya, bisa langsung ke http://gostrim.com/category/movie-review/ selamat membaca :)

    ReplyDelete

Just do it.