John Carter (2012) Review

3/18/2012 01:17:00 AM


Percaya atau tidak, John Carter adalah film yang mengalami development hell terpanjang dalam sejarah dunia perfilman, yakni sepanjang 79 tahun! Film adaptasi novel sci-fi karangan penulis legendaris Edgar Rice Burroughs berjudul ‘A Princess of Mars’ ini sebenarnya telah mulai dikembangkan tahun 1933 dalam bentuk film animasi oleh Bob Clampert, salah seorang sineas yang pernah membuat Looney Tunes. Namun setelah screen test, para petinggi studio dan kritikus tidak menyukainya sehingga proyek tersebut diundur. Bertahun - tahun kemudian, proyek film John Carter ini terus gagal untuk diwujudkan, mulai dari teknologi film yang belum mumpuni, dan masalah lainnya. Tahun 2003, hak cipta film ini dipegang Paramount dan teknologi perfilman waktu itu dianggap sudah sanggup menghidupkan planet Mars sesuai imajinasi Edgar Rice. Robert Rodiguez pun ditunjuk untuk menyutradarai film John Carter. Namun lagi - lagi proyek ini mengalami kendala dan berganti - ganti sutradara, mulai dari Kerry Conran, Jon Favreau, hingga akhirnya Paramount tidak ingin memperpanjang hak cipta John Carter. Disney pun membelinya, memanggil sutradara pemenang 2 piala Oscar Andrew Stanton (sutradara Wall-E dan Finding Nemo), hingga mengucurkan budget $250 million. Dan pertanyaannya sekarang, apakah Andrew Stanton berhasil mengadaptasi kisah yang dipercaya sebagai awal mula genre Sci-fi berusia 100 tahun ini ke layar lebar dengan baik?

Arizona, 1868. John Carter (Taylor Kitsch) adalah seorang mantan prajurit perang yang kini menjadi seorang pemburu emas. Suatu hari, sebuah peristiwa membawanya masuk ke dalam gua misterius di padang gurun, di mana gua tersebut ternyata adalah gua berdinding emas yang dicari - carinya selama ini. Namun, dewi fortuna belum berpihak pada John Carter. Sesosok misterius tiba - tiba muncul dalam gua itu; Carter berhasil membunuhnya, namun medali yang dipegang makhluk itu ternyata adalah sebuah alat teleportasi dan tanpa sengaja membawa Carter ke Planet Mars (Barsoom). Di sana ia dibawa oleh Tharks, sekumpulan alien hijau yang dipimpin oleh Tars Tarkas (Willem Dafoe) ke wilayah tempat tinggalnya.

Di sisi lain, kerajaan Hellium dan Zodanga yang dipimpin oleh para makhluk merah (bentuk mereka menyerupai manusia) telah berperang selama beribu - ribu tahun lamanya demi memperluas kekuasaan mereka. Sayangnya, Sab Than (Dominic West), pangeran kerajaan Zodanga, mendapatkan dukungan dari kaum Thern yang dipimpin oleh Matai Shang (Mark Strong), sehingga tidak dipungkiri lagi bahwa Kerajaan Hellium akan mengalami kekalahan. Sab Than kemudian membuat perjanjian dengan raja Hellium, Tardos Mors (Ciaran Hinds) bahwa apabila ia dinikahkan dengan putrinya, Dejah Thoris (Lynn Collins), maka peperangan akan dihentikan. Dejah Thoris tidak ingin menyerah begitu saja dan ia percaya bahwa ada jalan lain untuk memenangkan peperangan ini. Sebuah peristiwa kemudian mempertemukannya dengan John Carter. Ia berjanji akan memberitahu jalan pulang ke bumi apabila John mau membantunya menyelamatkan Hellium dari kehancuran.


Salah satu alasan John Carter berhasil masuk ke dalam daftar film yang paling saya tunggu - tunggu tahun ini adalah faktor Andrew Stanton yang duduk di kursi sutradara film ini. Beliau adalah salah seorang sineas yang telah memenangkan dua piala Oscar berkat dua film animasi yang ia buat di bawah bendera Pixar, Finding Nemo dan Wall-E. Saya pribadi juga telah mengikuti berita proyek John Carter ini mulai 2 tahun silam (lewat situs berita film favorit saya) dan mengetahui betapa terkenalnya novel yang dijadikan acuan adaptasi film ini. Well, sayangnya, hasil akhir John Carter ternyata tidak begitu berhasil memenuhi ekspetasi saya.

Kelemahan utama dari film ini tidak dipungkiri lagi adalah kualitas naskahnya yang ditulis ramai - ramai oleh Andrew Stanton, Mark Andrews, dan Michael Cabon. Alur cerita-nya yang begitu kaya kurang berhasil disajikan dengan pace yang pas. Terkadang kisah film ini terasa sangat cepat mengalir, sehingga membuat penonton agak sulit untuk mengikutinya; tetapi kadang juga lambat, datar dan membuat penonton bosan. Dan sayangnya, alur yang tidak rata ini selalu hadir di saat yang tidak tepat ataupun di titik penting yang membutuhkan penjelasan lebih. Sehingga pada akhirnya, John Carter tidak berhasil tampil maksimal sesuai harapan, berkat adegan - adegannya yang serba nanggung itu dan banyaknya elemen cerita yang dimasukkan. Gampangannya, kelabilan naskah film ini mirip dengan film Green Lantern (walau tentunya John Carter lebih bagus), dan menggunakan tone yang kurang - lebih serupa dengan Prince of Persia.


Berbicara Prince of Persia, kegersangan dan warna coklat dalam John Carter juga menambah rasa jenuh saya ketika menyaksikan film ini. Sebagian besar setting film ini (bisa ditebak sebenarnya) adalah di padang pasir serta tempat tinggal suku Tharks yang gersang dan tidak menarik sama sekali. Setting kerajaan Hellium ataupun Zodanga yang cukup indah dan futuristis malah dihadirkan tidak begitu banyak. Hal ini diperparah dengan perkembangan karakternya, baik protagonis dan antagonis yang dibuat membosankan, tidak menarik, datar dan cenderung ‘usang’. Taylor Kitsch terlihat sangat berjuang untuk tampil maksimal sebagai John Carter, dan menurut saya dia cukup berhasil, meski perjuangannya itu harus tergilas oleh naskahnya yang kurang menggigit. Sedangkan Lynn Collins, di balik kostum - kostumnya yang minimalis itu, malah tampil sebagai seorang heroine pembaca puisi. Tiap dialognya hampir selalu diucapkan dengan nada yang puitis, walaupun ntah gaya bicara seorang tuan putri memang digambarkan dalam novelnya seperti itu; tetapi menurut saya justru terkesan konyol dan cheesy. Karakter antagonisnya lebih parah lagi. Matai Shang hanya mendapatkan screen time yang sangat sedikit, dan menurut saya tampil kurang powerful, kejam, memorable dan tidak memiliki back story yang kuat. Bisa dibilang, beliau adalah salah seorang karakter antagonis paling payah dan tidak berkesan dalam film fantasy franchise-wannabe berbudget besar seperti John Carter ini.

Di sisi lain, visual effects dalam John Carter tampil cukup baik menurut saya, mulai dari design kerajaan Zodanga, Hellium, pesawat terbangnya, dan monster - monsternya; meski  apabila dibandingkan dengan Avatar, Alice in Wonderland ataupun Tron Legacy masih kalah. Sayangnya, budget raksasa ini tidak dimanfaatkan dengan baik oleh Andrew Stanton. Adegan aksi pertarungannya (lagi - lagi) dihadirkan serba nanggung, terutama adegan peperangan di akhir film yang termasuk singkat dan terlalu biasa untuk film berbudget raksasa seperti ini. Untungnya, gubahan musik dari Michael Giacchino cukup membantu meningkatkan level ke-epic-an film ini.



Satu - satunya kelebihan dari film ini yang saya sukai adalah betapa hebatnya imajinasi Edgar Rice dalam menciptakan sebuah dunia fantasi yang benar - benar kaya akan budaya, myth, makhluk - makhluk fantasy yang unik hingga inti ceritanya yang secara keseluruhan sangat bagus dan imajinatif. Walaupun gagal untuk diceritakan dengan narasi yang baik, Andrew Stanton sepertinya berhasil dalam menggambarkan budaya dan ciri khas dari novel garapan Edgar Rice ini ke medium film. Sehingga tidaklah mengherankan apabila novel karangan penulis legendaris ini menjadi pemicu munculnya kisah petualangan Sci-fi di luar angkasa terkenal seperti Star Wars, Star Trek hingga Avatar.

Overall, John Carter masih merupakan film aksi petualangan yang cukup baik dan bisa dinikmati; walau bagi para pecinta film yang berekspetasi lebih (seperti saya) akan memasukkan John Carter ke dalam daftar film paling mengecewakan tahun 2012 ini. Tetapi, saya sendiri sebenarnya bisa memaklumi kelemahan John Carter, mengingat source material-nya telah diterbitkan 100 tahun silam. Kita semua tahu bahwa Andrew Stanton adalah seorang sineas yang baik dan bisa jadi ia tidak ingin terlalu mengkhianati novel legendaris karangan Edgar Rice tersebut dengan melakukan perubahan besar - besaran untuk menyesuaikannya dengan taste penonton jaman sekarang. Well, who knows?

JOHN CARTER 3D REVIEW

You Might Also Like

5 comments

  1. Walaupun emang banyak kekurangannya, tapi gw lumayan suka lho sama film ini entah kenapa hahaha secara overall, ceritanya bagus (walaupun memang kebanyakan jalan cerita dan gak konsisten) plus action nya juga bagi gw juga seru hehe mungkin salah satu faktornya ekspektasi juga kali ya. udah terlanjur mikir film ini jelek gara2 rating, eh ternyata gak separah yg gw duga :p

    ReplyDelete
  2. Setuju. Inti story-nya bagus dan sangat rich. Cuman ya mungkin saking berambisinya sampai naskahnya jadi overload. Haha.
    Ekspetasi juga pengaruh. Dan kebetulan ekspetasi gw udah terlanjur tinggi. Huahaha. Adegan aksinya untuk ukuran budget 250 juta gw rasa kok kurang ya. Terlalu biasa, walau masih lumayan seru dan menghibur.

    ReplyDelete
  3. Kalo adegan aksi-nya kurang wajar sich bro, kan bukan film aksi... :D

    Nanti pas Battleship sama The Avengers baru adegan aksi melimpah dari awal film sampe abis.... :)

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. nice review,,,, mantap menarik sekali filmnya...

    senang bisa berkunjung
    Kunjungi juga Ke Blog Gua ya

    ReplyDelete

Just do it.