The Tree of Life Review

9/04/2011 03:53:00 PM


Terrence Malik adalah salah satu sutradara film paling hebat abad ini. Apabila Christopher Nolan dan David Fincher ahli dalam meracik plot yang orisinil, gelap dan kompleks, Terrence Malik mampu membuat sebuah film dengan visualisasi yang sangat indah, abstrak dan memberi pengertian yang berbeda dalam diri tiap penonton. Namun ada dua kesamaan di antara mereka bertiga, yaitu : mampu memberikan pengalaman menonton tak terlupakan di bioskop dan film karya mereka bukan konsumsi semua orang. Hal ini juga berlaku untuk karya terbaru Terrence Malik yang berjudul The Tree of Life.

Lewat The Tree of Life, Terrence Malik mengajak kita untuk mempelajari tentang kehidupan, terutama sebuah evolusi atau perubahan dalam diri tiap makhluk hidup dan dunia ini sendiri dari sudut pandang seseorang bernama Jack O'Brien (Sean Penn). Ia mempertanyakan keyakinannya kepada Tuhan dan apa sebenarnya arti hidup di dunia ini. Para penonton kemudian dibawa ke dalam memori masa kecilnya, di mana ia masih tinggal bersama keluarganya di tahun 1950an dan dididik sangat keras oleh ayahnya (Brad Pitt). Para penonton diajak untuk melihat proses kehidupan dan evolusi dalam diri Jack, dimulai dari ia dilahirkan oleh ibunya (Jessica Chastain), kemudian tumbuh bersama dengan dua adiknya, dan perubahan watak Jack sendiri akibat didikan keras ayahnya ataupun pengaruh dari lingkungannya. Terrence Malik juga menunjukkan bagaimana perubahan seorang manusia dari masih berupa anak - anak yang lugu dan polos bagaikan kain putih yang kemudian dinodai oleh berbagai macam 'warna' kejahatan ataupun kebaikan.




Selain lewat sudut pandang Jack O'Brien, Terrence Malik juga menunjukkan proses perubahan kehidupan dalam alam semesta menuju ke kedewasaannya sendiri. Para penonton disuguhkan adegan big-bang yang merupakan asal muasal alam semesta ini, kemudian sel - sel makhluk hidup di bumi yang berevolusi menjadi dinosaurus (no kidding), meteor jatuh ke bumi, ataupun perubahan alam di bumi sendiri (gunung meletus, dsb). Semua proses kehidupan ini disuguhkan Terrence Malik dengan visual yang sangat indah diiringi dengan gubahan musik yang megah dari Alexandre Desplat. 


Meski terkesan tidak berhubungan dengan kisah utama filmnya sendiri, namun adegan - adegan "discovery channel" tersebut cukup menggambarkan inti dari kisah utamanya, seperti adegan seekor dinosaurus yang menginjak dan hendak memangsa seekor dinosaurus yang lemas tak berdaya namun kemudian tidak jadi memangsanya, cukup menggambarkan hubungan Jack dengan ayahnya; ataupun adegan bumi diciptakan dan seisi bumi yang masih kosong menggambarkan Jack yang keluar dari perut ibunya dan belum tahu apa - apa. Sel - sel yang tumbuh berkembang dan berevolusi menggambarkan proses Jack memahami dunia lewat hal - hal yang paling sederhana seperti belajar berjalan, belajar membaca, dan lain - lain. Sedangkan gunung meletus dan bencana alam mungkin menggambarkan kebingungan, kemarahan dan perubahan besar dalam diri Jack. Cuplikan dari kitab Ayub di awal film juga menggambarkan suasana kehidupan keluarga O'Brien.


Contoh adegan - adegan di atas adalah kekuatan utama sekaligus kelemahan terbesar dari film ini yang tidak lain adalah gaya penyutradaraan Terrence Malik itu sendiri. The Tree of Life adalah film paling abstrak, terkaya dan terindah yang pernah saya lihat. Tiap adegannya yang dishoot dengan angle unik dan tata artistik yang tinggi tidak hanya memanjakan mata saja, namun juga memberikan pengertian dan persepsi yang berbeda - beda dari tiap penonton. Pemahaman yang telah saya sebutkan di atas bahkan bisa jadi berbeda dengan apa yang dipikirkan penonton lain. Selain gaya filmnya yang abstrak, Terrence Malik juga menyisipkan beberapa pertanyaan mengenai kehidupan dan keyakinan terhadap Tuhan yang hampir pasti pernah terbesit di benak kita semua.


Walau demikian, gaya film seperti ini justru menjadi bumerang tersendiri bagi pihak studio ataupun Terrence Malik sendiri. Sebagian besar (atau hampir semua) penonton awam sangat tidak menyukai film ini akibat adegan yang disuguhkan menuntut pemikiran dan konsentrasi penuh untuk memahami maksudnya, apalagi film ini hampir tidak memiliki plot dan dialog - dialog sepanjang film yang berdurasi 140 menit ini juga sangat minim untuk ukuran film drama. Bahkan bioskop di America sampai memasang tanda peringatan bahwa film ini memiliki narasi yang penuh teka - teki dan menyebabkan banyak orang yang pusing ataupun meminta kembali uang tiketnya. Hal ini tentunya sangat mempengaruhi jumlah menonton di mana hal tersebut adalah permasalahan sensitif bagi pihak studio dan produser yang membiayai film ini. Untungnya, film ini berhasil balik modal. Dari budget $32 million, film ini berhasil meraup $39 million untuk peredaran di seluruh dunia.



Seperti kebanyakan karya seni abstrak, The Tree of Life bukan film untuk semua orang melainkan terbatas untuk kalangan pecinta film saja. Hal ini terbukti ketika saya menontonnya kemarin malam. Dari jumlah penonton yang tidak sampai 20 orang, 6 orang penonton menyerah dan keluar dari bioskop, sedangkan sisanya malah mentertawakan film ini. Bahkan kalangan pecinta film sendiri ada beberapa yang membenci film ini. Well, sama seperti penilaian terhadap lukisan abstrak, pengamat lukisan yang menemukan makna dari keabstrakan tersebut akan memberi harga yang sangat tinggi terhadap lukisan itu, meski pengamat lain ada juga yang tidak suka. Sama seperti penonton film ini. Bagi mereka yang mengerti tujuan dan6  maksud dari film ini akan mendapatkan pengalaman menonton yang sangat berarti dan tak terlupakan berkat nilai - nilai kehidupannya yang tinggi ataupun visualisasinya yang sangat indah. 
Overall, The Tree of Life adalah film terbaik tahun ini menurut saya, sekaligus merupakan film yang paling bermakna dan terindah yang pernah saya tonton. Sayangnya, film ini hanya berdurasi 140 menit. Bagi sebagian penonton yang menikmatinya, durasi ini terasa kurang panjang.



VERDICT :

Why should I watch this movie?
+ Film yang wajib ditonton oleh semua pecinta film.
+ The Tree of Life adalah film yang sangat indah dan penuh makna.
+ Memenangkan Palme d'or (best picture) di Cannes Film Festival, sebuah penghargaan yang sangat jarang diperoleh film Hollywood.
+ Keabstrakan sepanjang film ini seperti ending film Inception. Menimbulkan pengertian yang berbeda - beda.

Why should I skip this movie?
- Keabstrakan dan gaya filmnya membuat penonton awam bosan, bingung dan tidak tahan setelah 10 menit film bergulir. Bahkan bisa jadi film ini adalah film ter-gak-jelas yang pernah mereka tonton.


You Might Also Like

3 comments

  1. ulasan yang sangat menarik tentang Terrence Malick. dan gue setuju dengan paragraf terakhir; bagi mereka yang mengerti maksud film ini maka akan memuji film ini setinggi mungkin. tapi bagi mereka yang tidak mengerti atau menyerah dengan ketidakmengertiannya, pasti akan menghujat film ini.

    btw salam kenal dari tiketbioskop.blogspot.com
    gue suka template blog ini, keren banget :D

    ReplyDelete
  2. Terima kasih banyak bro!! :D
    Iya, jarang ada film seperti ini. Yang mirip kyk film ini tu 2001 : A Space Odyssey. Jujur aja, kepala gw sampe pusing nonton film itu gara2 mikirin alur ceritanya. Hahaha. Tapi kalo berhasil nemuin ceritanya, film ini keren banget. Salah satu Film sci-fi terbaik yang pernah ada.

    Salam kenal juga bro. Hehehe =)

    ReplyDelete
  3. The Tree of Life adalah film yang sangat indah, saya sampai memerlukan 2x nonton di bioskop, punya dvd nya, sampai edisi blue raynya, terrence malick harus nya di ganjar oscar tahun lalu sbg best director bukan michael hazavanicious nya the artist... salam kenal... saya senang dengan blog ini...

    ReplyDelete

Just do it.