PARKER (2013) : KISAH PERAMPOK YANG MERAMPOK PERAMPOK
1/27/2013 07:31:00 PM
PARKER
2013 / 118 Minutes / Taylor Hackford / US / 2.39:1 Aspect Ratio / R
Setelah menghilang sekian lama, tidak ada yang menyangka kalau Taylor Hackford, sutradara pemenang Oscar yang sukses membawa Jammie Foxx memperoleh piala Oscar lewat film Ray (2004), memilih untuk melakukan comeback-nya dengan menyutradarai film bertajuk Parker yang dibintangi oleh Jason Statham ini.
Sebuah proses pendauran-ulang yang gagal.
Parker (Jason Statham), sepupu jauh Peter Parker, adalah seorang perampok yang dikhianati oleh kawanannya sendiri karena menolak bekerja sama untuk merampok perhiasan senilai US$75 juta. Ia bahkan dipukuli dan ditembak sebelum ditinggalkan begitu saja di pinggir sungai. Karena hal ini terjadi di awal film dan perawakan Statham terpampang begitu besar di poster, Parker masih hidup dan terbangun di rumah sakit. Bisa ditebak, ia segera berangkat menuju ke lokasi perampokan untuk menuntut balas dan mengambil bagiannya dari hasil perampokan sebelumnya.
Unfortunately, Parker is just another heist-gone-wrong action film. Kesaktian yang dimiliki John McLaughlin dan Taylor Hackford sepertinya tidak berhasil menyulap Parker menjadi film heist yang cerdas dan mendebarkan, atau at least, menceritakan kisah usang ini dengan cara yang baru. Dan apa yang kita dapati pada film ini ternyata tidak berbeda dengan film-film Statham yang sudah dirilis sebelumnya; jadi tidak dipungkiri lagi bahwa siapapun yang menyutradarai dan menulis naskahnya, mereka semua akan terlihat sama saja seperti karakter-karakter yang diperankan Statham.
Bahkan bagi para fans berat Jason Statham pun yang sekedar mengharapkan adegan aksi brutal seperti film Safe-nya baru-baru ini, sudah bisa dipastikan bahwa mereka akan terbebani oleh perasaan kecewa ketika lampu kuning bioskop sudah menyala. Parker dapat dikatakan sebagai salah satu film Statham yang paling talkies. Dan sejujurnya hal ini tidak akan menjadi masalah besar kalau orang-orang di belakang layarnya sudah mempersiapkan sesuatu yang spesial untuk me-redeem kekurangan ini.
Namun patut disayangkan karena di dalam durasi 118 menitnya itu, tidak ada satupun scene yang bisa stand-out dan memorable. Para penonton hanya disuguhi dialog-dialog standard dan pernarasian cliche yang sepertinya taat sekali dengan buku panduan How to make a heist-gone-wrong movie untuk mengisi kekosongan durasinya. Hal ini jelas membuat kita semua, para penonton, serasa dibawa berputar-putar kembali ke tempat yang sudah sering kita kunjungi selama nyaris dua jam. Dan perjalanan ini terasa lebih panjang lagi karena idak ada twist and turn, tidak ada adegan aksi rusak-rusakan, tidak ada car chase, tidak ada adu strategi cerdas. Semua hanyalah sekedar perguliran narasi yang lurus dan mulus-mulus saja.
1% bakat itu memang diperlukan.
So, is it that bad? Untungnya tidak. Somehow, di tengah kegagalan sang penulis naskah (ntah karena malas atau novelnya memang buruk dan penulis naskahnya terlalu takut untuk berimprovisasi), gaya penyutradaraan Taylor Hackford masih berhasil mengangkat film ini agar tidak sampai berakhir terlalu buruk--apalagi ada Jennifer “Gigli” Lopez di sini, if you know what I mean--dan masih terasa oke untuk dinikmati di tengah penggunaan formulanya yang sudah terlalu standard dan membosankan itu.
Well, masih ingat dengan quote terkenal dari Thomas Edison mengenai 99% usaha, 1 % bakat? Taylor Hackford itu seumpamanya seorang pendongeng yang sangat berbakat tetapi bekerja di perusahaan penerbitan yang buruk. Ia sukses mendongengi para penonton dengan tepat di tengah segala fasilitas yang ‘terbatas’ itu sehingga mereka tetap tidak merasa bosan ketika mengunjungi poin-poin cerita yang sudah lebih dari kata familiar itu karena cara dia bercerita masih sangat asyik dan exciting untuk dicerna.
Bahkan meski sajian action-nya dapat dikatakan minim, Hackford mengerti betul bagaimana cara memaksimalkan keminimannya itu menjadi sebuah kejutan tersendiri berkat trik-trik thrill-nya yang efektif dan kebrutalan demi kebrutalan yang tidak tanggung-tanggung.
Dari segi teknis, Parker seperti film kekurangan budget atau mungkin tidak dapat memanfaatkan $30 juta-nya itu dengan baik, quite surprising untuk ukuran produk Hollywood. Hal ini terlihat pada adegan-adegan long shot gedung pencakar langitnya yang terlihat kasar dan sepertinya direkam dari kamera yang tidak memadai.
Production value-nya juga dapat dikatakan kurang greget--setara dengan film straight-to-video yang jelas secara tidak langsung juga berdampak pada frekuensi adegan aksinya. Jajaran supporting actor berkualitas seperti Nick Nolte pun hanya dibuat sekedar aji mumpung saja; sementara Jason Statham, seperti biasa, selalu menjadi fokus utama lampu sorot di sepanjang durasi dua jam bersama dengan Jennifer Lopez yang perannya di film ini seperti ingin membuktikan bahwa dirinya masih seksi.
Production value-nya juga dapat dikatakan kurang greget--setara dengan film straight-to-video yang jelas secara tidak langsung juga berdampak pada frekuensi adegan aksinya. Jajaran supporting actor berkualitas seperti Nick Nolte pun hanya dibuat sekedar aji mumpung saja; sementara Jason Statham, seperti biasa, selalu menjadi fokus utama lampu sorot di sepanjang durasi dua jam bersama dengan Jennifer Lopez yang perannya di film ini seperti ingin membuktikan bahwa dirinya masih seksi.
Alunan musik yang mengiringi adegan-adegannya juga tidak kalah formulaic berkat tingkat similaritasnya yang kelewat identik dengan film-film action old-school kebanyakan (contoh yang masih fresh : Stolen dan Taken 2), which is very annoying dan sangat mengherankan sekali kenapa para musisi selalu menggunakan aransemen yang sama berulang-ulang kali. Ada yang bisa bantu jawab?
Overall, Parker adalah film aksi kelas B yang hanya pantas disaksikan oleh para pecinta film-film Jason Statham ataupun para penonton yang tumbuh bersama film-film aksi sejenis. Jika anda termasuk penonton yang selektif dan membatasi pengeluaran untuk sekedar perjalanan sinematik, maka Parker cukup disaksikan di rumah saja. And by the way, Jason Statham looks so good with hair!
7 comments
hahaha....begitu liat poster film ini di iklan jadwal film di koran, feeling gw dah lgs bilang nih pasti class B film, soalnya kgk pernah kedengaran sama sekali gaungnya, koq tiba2x nongol, hrsnya nih film emang lgs straight to dvd aja (same thing should applied to Stolen).... keliatannya bulan jan n feb ini lagi paceklik film blockbuster ya...yg dirilis kebykan film2x class B ataupun non mainstream....sekrg lg nunggu nih perilisan GI JOE 2 , yg harusnya dirilis pertengahan taon 2012 tapi diundur ampe awal taon 2013 gara2x mo dibuat versi 3Dnya dgn sofware ( not shoot with 3D cam ) penasaran abis ama hasilnya...
ReplyDeleteGw udah denger sih begitu trailernya rilis tahun lalu. hehe.
ReplyDeleteDi Amerika sendiri memang sedang sepi film blockbuster dan selalu terjadi di bulan Januari karena di sana film-film kelas Oscar pada wide-release.
G.I Joe 2 dikonversi ke format 3D dan melakukan re-shot karena kabarnya film ini mendapat respon yang sangat negatif waktu audience test.. Kyknya bakal ga jauh berbeda dengan film pertamanya.
ditunggu review lengkap dr film om arnie yg terbaru 'LAST STAND' (besok premier) yg shockingly bisa dpt review yg bagus di imdb dan dpt rating 7.2...pdhal gw pertama dengar soal film ini pesimis filmnya bisa bagus hasilnya.....tapi rata2x di imdb yg nonton puas....jd penasaran abiz...
ReplyDeleteYah gan. Aq juga barusan lihatnya di bioskop transtv aja gan..
ReplyDeletePenonton emang paling pinter walau cuma bisa coment doank..wkwkwk
ReplyDeletePerkenalkan saya MYDRAKOR, aplikasi untuk menyaksikan film drama korea terbaru dan mudah digunakan, cukup download MYDRAKOR di GooglePlay gratis, banyak film drama korea pilihan dan terbaik.
ReplyDeletehttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in
https://www.inflixer.com/
Keberhasilan statham krn ada plusnya si gigli J.Lopez
ReplyDeleteJust do it.