GRAVITY REVIEW - 2013 : A SPACE ODYSSEY

10/10/2013 07:14:00 PM



2013 / Warner Bros. Pictures / US / Alfonso Cuaron / 90 Minutes / 2.39:1 / PG-13 


Gravity berkisah mengenai perjuangan Dr. Ryan Stone (Sandra Bullock) dan Matt Kowalski (George Clooney) untuk kembali ke Bumi, setelah misi mereka di luar angkasa berakhir kacau-balau akibat ledakan satelit Russia yang membuat seluruh kru mereka tewas mengenaskan. Sayangnya, keganasan angkasa luar dan kenihilan gravitasi membuat usaha mereka bertahan hidup ini jauh lebih sulit dari perkiraan. 


Di dunia ini, hanya ada dua tipe film yang dianggap revolusioner dan mendewasakan industri perfilman, atau bahkan dijadikan bagian dari kurikulum wajib di sekolah-sekolah film. Tipe yang pertama adalah film yang berani mencoba sesuatu yang baru dalam gaya berceritanya, let’s say Citizen Kane. Dan yang kedua adalah film yang berhasil membuat sesuatu yang awalnya mustahil menjadi sesuatu yang terlihat realistis di layar, gampangannya : teknik dan visual effects mutakhir. Gravity termasuk kategori kedua.

Secara narasi, Gravity memang cenderung “melempem” untuk ukuran sebuah film dengan genjotan hype yang luar biasa seperti itu. Gaya bertuturnya cukup straight-forward. Plotnya hanya sekedar berpindah dari poin A ke poin B, tanpa perkembangan cerita dan twist untuk membuatnya tampak lebih menarik. Tetapi untunglah, duet bapak-anak Alfonso Cuaron dan Jonah Cuaron menceritakan prosesnya dengan amat menarik, yang tentunya segera mengalihkan topik bahasan kita ke tata visualnya. 


Kisah fiksi ilmiah tanpa fiksi.

Secara visual, Gravity adalah juaranya untuk tahun ini. Alfonso Cuaron dan tim visual effects-nya membawa kita kembali ke masa lalu dan berusaha membuat kita merasakan rasa takjub yang sama ketika penonton menyaksikan 2001: A Space Odyssey-nya Stanley Kubrick di tahun 1968 silam. Pendekatannya yang berusaha untuk tampil serealistis mungkin dengan penampilan teknologi NASA yang memang sudah ada sampai meminimalisir sound effects membahana untuk scene adegan aksi di angkasa luar, jelas telah membuat Gravity menjadi salah satu film sci-fi paling believable dan bahkan sulit untuk dibilang fiksi (di luar narasinya yang fiksi). Hanya saja, di zaman dengan mental mie instan seperti ini, Gravity tidak memuat metafora dan simbolisme sekental 2001 : A Space Odyssey yang membuatnya dielu-elukan banyak cinephiles di dunia sebagai film sci-fi terbaik sepanjang masa.

Satu hal lagi yang berhasil membuat Gravity begitu mencekam dan terasa realistis adalah teknik long take-nya yang revolusioner. Apabila anda sempat menyaksikan Children of Men--karya Cuaron sebelumnya, maka anda tahu sebagaimana ambisiusnya beliau bersama Emmanuel Lubezki (The Tree of Life) dalam merancang adegan aksi spektakuler dengan kamera yang bergerak non-stop mengikuti sang aktor dan memfilmkan segala peristiwa yang ada dengan komposisi yang sempurna. Di Gravity, Cuaron berusaha untuk melampaui apa yang sudah beliau capai di film tersebut. Long take film ini tidak hanya memukau secara visual, tetapi juga secara ajaib menyulap seluruh filmnya menjadi sebuah wahana roller-coaster menegangkan yang tidak terlupakan dan tidak akan membiarkan penonton bernafas santai. Setiap scene actionnya terasa sangat realistis, seakan didokumentasikan secara langsung lewat lansekap 2.39:1-nya. Film ini tidak hanya membuat penonton merasakan ketegangan yang luar biasa, tetapi juga membuat mereka juga ikut “terlibat” dalam segala hal yang dialami oleh Dr. Ryan Stone di angkasa luar. 

Akting Sandra Bullock sebagai seorang aktris kelas Oscar juga tidak dapat dipandang sebelah mata di sini. Karakternya begitu immersive, natural dan berhasil menguasai seluruh screen time-nya (80% dari seluruh durasi) dengan pesona yang tidak main-main. Bahkan desahan nafasnya sendiri sanggup memperjelas betapa intens dan mengerikannya usaha bertahan hidup di angkasa luar. Hanya saja, durasi 90 menit tersebut saya kurang sanggup menggali karakternya lebih dalam lagi karena ia terpaksa harus berbagi dengan rentetan pertunjukkan thrill dan visual effects-nya. Bagi sebagian orang, hal ini bukanlah sebuah permasalahan yang besar karena Cuaron sejak awal memang lebih menekankan cinematic experience yang tiada-duanya di Gravity daripada bermain-main dengan nalar penonton. Namun tetap saja, amat disayangkan apabila penonton hanya sanggup untuk terhubung dengan thrill dan jualan visual effects pada insiden yang tengah terjadi, daripada juga terkoneksi kuat dengan karakter dalam insiden tersebut. 


Verdict.

Gravity memang tidak begitu istimewa apabila kita tilik dari segi narasi dan naskahnya, bahkan kalau boleh lancang sedikit, ia cenderung melempem di aspek satu ini. Tetapi apabila kita melihatnya dari segi visual effects, teknis, dan bagaimana Alfonso Cuaron bersama musisi Steven Price serta D.O.P Emmanuel Lubezki mempresentasikan cerita yang biasa itu menjadi sebuah tontonan dengan komposisi dan atmosfer audio-visual yang maha dahsyat, maka Gravity tidak hanya salah satu film petualangan luar angkasa terbaik yang pernah dibuat, Gravity juga merupakan film paling penting dan revolusioner dalam bidang teknis milenium ini semenjak Avatar-nya James Cameron yang dirilis tahun 2009 silam. Jadi, singkat kata, apabila anda hanya bisa menonton satu film saja dalam setahun di bioskop, maka anda tidak perlu ragu untuk menjadikan Gravity sebagai film anda tahun ini. A MUST SEE MASTERPIECE! 


Rating :
Don’t Let Go : @Elbert_Reyner


You Might Also Like

1 comments

  1. Desahan napas Sandra Bullock sebenarnya agak annoying, narasi juga terlalu melempem dan cenderung membosankan.

    Overall visual dan audio Gravity memang top.

    Ditunggu review Prisoners yang fenomenal bro :)

    ReplyDelete

Just do it.