JAKARTA HATI (2012) : AMBISI DI BALIK KERAPUHAN NARASI

11/16/2012 06:35:00 PM



Setelah Sanubari Jakarta yang menyapa para cinephile dengan kumpulan kisah kehidupan para kaum minoritas di Jakarta, kini giliran Salman Aristo menyajikan “sequel”nya yang berkisah mengenai hati di kota Jakarta. Dengan format omnibus yang digarap seorang diri, apakah Jakarta Hati berhasil mengetuk hati para penontonnya?

Film ini terdiri dari enam kisah yang bercerita seputar moralitas, perasaan, dan cinta dengan mengambil sudut pandang masyarakat Jakarta yang berasal dari kelas sosial yang beraneka ragam. Mengingat kisahnya yang tidak saling berkaitan, maka review ini akan dibagi menjadi 6 bagian. 


CHAPTER 1 : ORANG LAIN - tengah malam

Seorang pria (Surya Saputra) sedang duduk di bar, meratapi nasib pernikahannya. Kemudian seorang perempuan (Asmirandah) di seberang meja datang menghampirinya dan memberitahu sesuatu yang mengejutkan kepada pria itu.

Film pembuka ini dapat dikatakan cukup bagus dan sanggup men-setting mood penonton dengan semangat dan rasa cinta sineasnya terhadap film yang terasa sangat kuat. Alur cerita yang disuguhkan cukup menarik dengan tema seputar pertanyaan yang muncul ketika kehidupan pernikahan sedang terombang - ambing : apa itu salahku? mengapa pasanganku berbuat seperti itu? Segmen ‘Orang Lain’ berusaha untuk menjawab pertanyaan itu dengan curahan hati para karakter utamanya.

Akan tetapi patut disayangkan karena eksekusinya terbilang cliche dan terlalu dipaksakan untuk tampil romantis. Akting Surya Saputra dengan lawan mainnya yang cukup gemilang dan juga cinematography-nya yang cantik dapat dikatakan menjadi penyelamat bab pertama dari Jakarta Hati ini.

Rating : 3.5/5


CHAPTER 2 : KABAR BAIK - pagi

Segmen “Kabar Baik” berbicara mengenai dilema yang luar biasa ketika seorang polisi (Andhika Pratama) sedang memproses seorang tersangka (Roy Marten) yang memiliki hubungan dengan dirinya. 

Alur cerita yang ditawarkan “Kabar Baik” ini dapat dikatakan sebagai yang terbaik dan paling memorable di antara enam bab film ini. Kegelisahan dan kebingungan yang dirasakan sang tokoh utama sanggup membangun koneksi yang baik dengan para penontonnya di mana mereka juga akan dibuat berpikir dan bertanya-tanya : apa yang harus aku lakukan ketika mengalami hal yang sama? Mana yang aku pilih, kejujuran atau kepentingan diri sendiri?

Satu-satunya kelemahan dari segmen ini adalah akting para pemainnya yang terlalu over-the-top sehingga terkesan seperti sebuah sinetron pendek, lengkap dengan gerakan mata sinisnya yang khas itu. Meski hanya lemah di satu aspek saja, performa akting dalam film yang bersetting pada satu tempat justru adalah aspek yang paling penting. 

Rating : 3/5


CHAPTER 3 : MASIH ADA - siang

Berkisah mengenai seorang pejabat (Slamet Rahardjo) yang mengalami banyak musibah dalam perjalanannya menuju ke Senayan sebelum pukul 11 siang.

Apabila chapter sebelumnya menelusuri kisah cinta yang personal, kali ini mencakup kecintaan atas negara dan moralitas seorang pejabat, demikian pula kecintaan antara rakyat dengan negaranya. Beberapa adegan memang cukup menohok, namun usaha Salman Aristo untuk membedah kebobrokan mental wakil rakyat ini terbilang kurang berani dan sekedar hanya merealisasikan bait pembuka dari artikel opini rakyat yang dimuat di koran - koran. 

Akting pemeran utamanya bagus, termasuk cameo dari aktor senior Didi Petet. 

Rating : 2.5/5


CHAPTER 4 : HADIAH - sore

Berkisah mengenai seorang penulis naskah (Dwi Sasono) beranak satu yang sedang dilanda masalah keuangan. Ia mendapatkan offer dari temannya that he can not refuse.

Cara Salman Aristo memperkenalkan karakternya cukup unik. Dengan kombinasi poster film Pulp Fiction yang menempel di dinding dan kertas berceceran, para penonton dengan mudah untuk mengenali karakter ini sebagai seorang penulis naskah tanpa harus diceritakan secara gamblang. 

Segmen ini dapat dikatakan sebagai sebuah kejutan karena tidak pernah terpikirkan sebelumnya kalau tema “kecintaan terhadap dunia film” dapat menyisip di film dengan judul Jakarta Hati. “Hadiah” hadir untuk menyindir sekaligus menonjolkan pertanyaan seputar pekerja film di Indonesia yang sampai hati mau mengorbankan ‘harga dirinya’ untuk menggarap film horror esek - esek seperti “Pocong Impoten” itu. Segmen ini menjawab pertanyaan tersebut dengan cara yang sangat sederhana namun menyentuh.

Rating : 4/5

P.S : adegan ini lenyap ditelan kegelapan.

CHAPTER 5 : DALAM GELAP - malam

Lagi - lagi perealisasian keluhan rakyat (seperti chapter 3), tetapi disampaikan lewat kisah antara pasangan suami istri di tengah pemadaman listrik.

Secara teknis, bagian ini yang paling unik karena difilmkan dengan teknik one-shot. Tetapi sebagai sebuah film, segmen “Dalam Gelap” adalah yang paling lemah. Ceritanya termasuk yang paling ‘hampa’ dan seakan - akan dibuat hanya untuk mengisi durasi saja. Tidak hanya itu, aktor dan aktris film ini tidak pernah terlihat batang hidungnya karena lampu mati dan hanya berakting melalui suara. Great.

Rating : 1.5/5


CHAPTER 6 : DARLING FATIMAH - malam

Film pembuka dan penutup film omnibus memang harus spesial agar mood penonton terjaga dengan baik ketika film dimulai dan berakhir. Jakarta Hati ditutup dengan film komedi “Darling Fatimah”. 

Ceritanya termasuk yang paling ringan di antara segmen lainnya : Fatimah, seorang janda penjual kue-kue keturunan Sunda, harus berhadapan dengan seorang pria keturunan China yang jatuh hati padanya.

Akting amat baik. Karakternya yang bermulut tajam itu berhasil mengundang tawa riuh yang tulus dari penontonnya. 

Sayang, saking ringannya film ini, Darling Fatimah sama sekali tidak terasa tema “Jakarta Hati” yang dibawanya itu selain sebuah hidangan penutup yang rasanya semanis kue Fatimah.

Rating : 3.5/5

----------------------

Overall, Jakarta Hati tidak dapat tampil sekuat Sanubari Jakarta seperti yang diharapkan. Konsep dan tata teknisnya bagus, tetapi ada sesuatu yang kurang agar film ini dapat menjadi sebuah sindiran terhadap fungsionalitas hati dan moral yang lengkap. Jakarta Hati terkesan malu-malu dalam menyampaikan temanya itu dan tidak berhasil membuka hati para penontonnya. Tetapi sebagai minyak pelumas untuk memutar roda industri perfilman Indonesia ke arah yang lebih baik, Jakarta Hati berhasil melaksanakan tugasnya. 


You Might Also Like

0 comments

Just do it.