THE HOBBIT AN UNEXPECTED JOURNEY (2012) : THERE AND BACK AGAIN

12/21/2012 02:02:00 AM


THE HOBBIT AN UNEXPECTED JOURNEY
2012 / Peter Jackson / 170 Minutes / US / 2.39:1 Aspect Ratio / PG-13

Trilogi The Lord of the Rings dapat dikatakan sebagai salah satu saga fantasi yang paling dikenang sepanjang masa berkat kualitas narasinya yang luar biasa dan ratusan ribu fans setia yang tidak akan pernah habis bertelur sampai generasi-generasi berikutnya. Ya, saga ini dapat dikatakan sejajar dengan Harry Potter, Star Trek, Star Wars, dsb (ndak, Twilight ga masuk). Jadi, tinggal menunggu waktu saja sebenarnya untuk proses penggarapan The Hobbit. Akan tetapi, masalah kebangkrutan MGM (yang memegang hak cipta novel The Hobbit) membuat proyek film ini terkatung-katung sampai pada akhirnya proses syuting dimulai tahun lalu di mana Peter Jackson sang penggembala kembali duduk di kursi sutradara. Apakah prekuel LotR ini dapat menyembuhkan home-sick para fans yang segera ingin pulang ke Shire atau justru mematahkan hati mereka karena tidak berhasil menembus ekspetasi seperti halnya yang terjadi pada trilogi prekuel Star Wars?

Far over the Misty Mountains Rise

Di tangan Peter Jackson, jelas tidak ada yang perlu dikhawatirkan oleh para fans berat LotR Trilogy. Beliau mungkin adalah satu-satunya sineas Hollywood yang benar-benar mengerti bagaimana membuat installment terbaru dari LotR, meski harus sempat menuai kontroversi akibat keputusannya untuk memecah prekuel ini menjadi trilogi dari novel yang hanya HANYA setebal 348 halaman.

Tapi, sebenarnya apa sih yang perlu dikhawatirkan? Peter Jackson is Peter Jackson. Beliau memang tidak bisa membuat film berdurasi pendek. Lihat saja King Kong dan trilogi LotR-nya yang durasinya berhasil menembus durasi tiga jam. Termasuk ekstrim memang, tapi ia benar-benar telah membuat tiga jam dari hidup para penontonnya itu sangat tak terlupakan dan--percayalah--hanya sedikit yang keberatan untuk menghambur-hamburkan kredit waktunya demi menonton ulang film-film tersebut. Untungnya, babak pertama petualangan-tak-terduga ini juga berada di dalam daftar karya terbaik Peter Jackson.

Ya ya I know, The Hobbit part 1 memang mendapatkan respon jutek dari para kritikus dan juga beberapa movie blogger, tapi tenang, baca ini : fans berat LotR tidak perlu khawatir. The Hobbit benar-benar sesuai dengan apa yang kita harapkan dari sebuah installment LotR, dan melebihinya. 



There and Back Again 

Garis besar kisah dalam film The Hobbit dapat dikatakan jauh lebih ringan apabila dibandingkan dengan trilogi LotR. Tetapi, bukankah hal ini wajar untuk sebuah kisah prekuel di mana segalanya masih baik-baik saja? Bilbo Baggins, 60 tahun sebelum pesta ulang tahunnya yang ke-111, adalah seorang Hobbit yang senang dengan kehidupannya yang tenang di Shire dan tidak mau keluar dari comfort zone-nya itu. Suatu hari, Gandalf the Grey mengunjungi rumahnya dan mengajak Bilbo untuk berpetualang bersama. 

Dapat ditebak, Bilbo menolak ajakan Gandalf. Dan bisa ditebak pula dari seorang Gandalf, ia dengan cerdas berhasil memaksa Bilbo untuk ikut berpetualang bersama dengan 13 dwarfs (Dwarves--kalau menurut J.R.R Tolkien) merebut kembali kerajaan mereka yang dikuasai naga.

Technically, novel The Hobbit ditulis untuk pasar anak-anak, bertahun-tahun jauh sebelum Tolkien merampungkan trilogi The Lord of the Rings-nya. Logikanya, kisah The Hobbit bercerita lebih ringan apabila dibandingkan dengan LotR dan memiliki keterkaitan yang tipis. Dan sayangnya, LotR difilmkan terlebih dahulu. 

Jadi, sebelum film ini dibuat, sudah banyak yang menyangsikan bahwa The Hobbit tidak sanggup menyamai LotR dalam hal cerita dan juga pertarungannya. Oleh sebab itulah, Peter Jackson berusaha untuk menambahkan elemen cerita yang belum terpakai  ke dalam The Hobbit, untuk membuatnya sebagai film prekuel yang layak untuk trilogi legendaris tersebut. Dan beliau berhasil.



That expectedly-unexpected adventure

The Hobbit tidak hanya sukses menjadi landasan awal kisah LotR dengan segala tease-nya yang mengasyikkan itu, film ini juga sukses memberikan pengalaman menonton yang magis, luar biasa, epik, indah dan tak terlupakan seperti ketika kita menyaksikan LotR untuk pertama kalinya. Meski berdurasi nyaris tiga jam, The Hobbit membuat para penontonnya (at least para fans) tidak sadar telah mengedipkan matanya. 

Adegan aksinya tidak kalah intens dengan The Fellowship of the Ring, apalagi disertai dengan efek visual yang jauh lebih canggih dari LotR membuat Middle Earth (dan Gollum) jauh lebih spektakuler dari sebelumnya. Detail cerita yang dijabarkan sangat detail--khas saga LotR--juga masih ada di film The Hobbit yang mana akan membuat film ini menjadi film fantasy dengan materi cerita yang sangat kaya, padat, dan memiliki replay value yang tinggi. 

Yang patut disayangkan mungkin adalah perkembangan karakter pendukungnya yang tidak merata dan tidak dapat membuat kita peduli terhadap mereka (bahkan mengingat nama mereka sekalipun); kontras dengan Fellowship of the Ring yang memiliki perkembangan karakter yang merata. Tetapi tenang saja, karena masih ada waktu 6 jam untuk menggali karakter dwarfs ini secara lebih mendalam dan tidak adil untuk menjudge-nya langsung di film pertama. 



Bagginses? What is Bagginses?

Dan dari segi casting, Peter Jackson and his team did it again. Mata dan imajinasinya begitu canggih untuk membayangkan performa mereka dibalik make up tebal, bahkan melebihi mata para fans yang terbengong-bengong sebelumnya dengan pilihan Peter Jackson untuk diberi tanggung jawab membawa karakter-karakter tersebut ke layar lebar (kalau tidak percaya, lihat foto mereka di IMDB).

Ambil saja pemeran tokoh utama kita, Martin Freeman (sepupunya Morgan) yang telah memberi performa yang charming sebagai Bilbo Baggins, seakan-akan ia lahir untuk memerankan karakter tersebut. Dan kalau boleh jujur, karakter Bilbo terasa lebih real dan menyenangkan dibandingkan Frodo pada template karakterisasi yang sama : from zero to hero; ya, walau bisa dikatakan kurang adil karena beban yang mereka tanggung berbeda. Ian Mc.Kellen juga tak perlu diragukan lagi; ia selalu berhasil menumbuhkan chemistry dengan karakter apapun yang ada di layar dan memerankan seorang Gandalf yang berbeda dengan LotR.



Untuk jajaran para dwarfs, semuanya well-casted terutama sang pemimpin, Thorin Oakenshield yang diperankan Richard Armitage. Wibawanya sangat kental walau tinggi dia hanya setengahnya Gandalf, dengan feel jiwa patriotik seorang raja yang tidak mengada-ada.

Bagi yang indra pendengarnya rindu atas musik agung gubahan Howard Shore, beliau kembali menghasilkan rentetan score yang sangat indah dan familiar yang beberapa di antaranya adalah hasil remix dari musik favorit para fans (seperti Many Greetings dan Concerning Hobbit). Untuk score eksklusif yang menjadi highlight di film The Hobbit adalah Theme Song Misty Mountains yang tidak kalah magis dan memorable.



Overall, The Hobbit An Unexpected Journey adalah sebuah film yang berhasil menyajikan kisah prekuel LotR yang unexpectedly epic and amazing, mencerai-berai ekspetasi para fans yang sudah setinggi puncak Misty Mountains. Dan sama seperti para perempuan-perempuan yang menginginkan more Robert Cullen-Taylor Black, The Hobbit part 1 berhasil membuat hati para fans meledak beratom-atom ketika Song of the Lonely Mountains mulai mengalun menyambut pijaran lampu kuning yang mulai menerangi ruangan. Desember 2013 tidak pernah terlihat sejauh puncak Lonely Mountains. Semoga saya masih hidup.




P.S : 

Sama seperti Star Wars, anda harus menyaksikan ketiga film LotR terlebih dahulu agar bisa connect dengan jalinan kisah The Hobbit ini. 

Hanya ada 1 perempuan di jajaran karakter The Hobbit.


I'm a BIG fan of The Lord of the Rings. A different movie experience may vary.





You Might Also Like

1 comments

  1. I totally agree with your review. It is definitely not easy to adapt a relatively short children's book into a three part movie, bearing in mind that it should satisfies both movie buffs and Tolkien fans. Saying this from a Tolkienite perspective, I appreciate the fact that he stayed true to the book and even improvise some bits. I really look forward to the next part.

    ReplyDelete

Just do it.