The Artist (2011) Essay

2/23/2012 09:14:00 PM



Finally. Setelah menunggu berbulan - bulan semenjak trailer-nya dirilis, akhirnya The Artist ditayangkan juga di bioskop tanah air. Sebenarnya pemutaran The Artist di bioskop tanah air ini cukup mengejutkan dan “agak” tidak masuk akal. Why? Pertama, The Artist adalah film hitam putih. Hal ini tentunya sudah sangat mengurangi ketertarikan para masyarakat awam untuk menyaksikan The Artist. Kedua, film ini ditampilkan dengan aspect ratio Academy 1.33:1, alias persegi. Yup, anda tidak akan menyaksikan film ini dengan format Widescreen seperti biasanya (1.78:1 ataupun 2.40:1). Alasan ke tiga adalah alasan yang paling krusial : The Artist adalah film bisu. Dari awal hingga akhir, film ini tidak menghadirkan adegan yang bersuara (kecuali, SPOILER, scene di pertengahan dan di akhir), melainkan hanya sekedar gubahan musik yang mengiringi setiap adegan yang ditampilkan di layar. Meski film ini akan sangat dijauhi para masyarakat (sudah terbukti ketika saya menyaksikan film ini di bioskop), The Artist justru mendapat sambutan yang luar biasa dari kalangan kritikus dan pecinta film di seluruh dunia. Bahkan film ini mendapatkan 10 nominasi dalam ajang Oscar tahun 2012 ini. Namun, apakah The Artist memang benar - benar sedahsyat itu, atau malah overrated?


Fortunately, The Artist berhasil menjadi salah satu film terbaik di tahun 2011 lalu dan memberikan pengalaman menonton yang sangat tidak terlupakan. Sensasi-nya bisa dibilang mirip dengan sensasi ketika saya menyaksikan James Cameron’s Avatar dan The Tree of Life di bioskop. Bagi generasi masa sekarang ini, mungkin banyak yang berpikiran “ngapain bayar mahal - mahal untuk nonton film bisu di bioskop.. mending di DVD saja..”; namun bagi para pecinta film dan masyarakat yang ‘open-minded’, The Artist adalah film yang tidak bisa dilewatkan begitu saja. Seperti yang kita semua ketahui bahwa era film bisu telah berakhir pada tahun 1929, di mana Charlie Chaplin’s Modern Times (1936) adalah film bisu terakhir yang cukup sukses. Memang, silent film masih bermuculan di tahun - tahun berikutnya, namun sangat jarang, tidak pernah terdengar dan tidak mendapat sambutan yang meriah. Oleh karena itu, generasi sekarang ini bisa dibilang sangat beruntung karena dapat merasakan sensasi dan magic-nya menonton film bisu di bioskop; terlebih lagi, kualitas film ini sangat bagus dan tidak mengecewakan. 

Alkisah di Hollywood, tahun 1929, George Valentin (Jean Dujardin) adalah seorang aktor film bisu yang sangat terkenal dan memiliki penggemar sangat banyak, termasuk Peppy Miller (Berenice Bejo). Peppy ternyata memiliki bakat menari yang baik sehingga tanpa pikir panjang, George mengikutkan Peppy di filmnya. Lambat laun, Peppy mulai mendapat banyak tawaran main film meski ia tidak menjadi peran utama. Suatu hari, Al Zimmer (John Goodman), pemilik studio film tempat George bekerja, meresmikan penggunaan teknologi film terbaru, yakni : perekam suara. George pun bersikap angkuh dan mentertawakan teknologi tersebut. Ia berpendapat bahwa “untuk apa menggunakan suara, kalau penonton bisa mengerti alur cerita hanya lewat ekspresi wajah?” Bisa ditebak, keangkuhan George ini berbuntut pada kebangkrutannya setelah ia nekad menghabiskan semua uangnya untuk memproduksi film bisu dan membuktikan bahwa era film bisu tidak tergantikan. Sementara itu, nasib Peppy malah bertolak belakang dengan George. Ia berubah menjadi bintang papan atas Hollywood setelah membintangi banyak sekali film bersuara yang menuai kesuksesan luar biasa. Apakah George akhirnya memutuskan untuk menerima teknologi perfilman tersebut?

The Artist tidak hanya sekedar film fiksi-biografi yang mengadaptasi cerita sejarah nyata, melainkan juga sukses mengubah bagaimana cara anda menyaksikan film dan menyampaikan sebuah cerita yang rich, intense, dan indah secara utuh tanpa harus menggunakan pengucapan dialog. Namun jangan berpikir bahwa anda akan kesulitan menyaksikan film ini, sebab The Artist masih memiliki beberapa dialog - dialog kunci, namun cara pengucapannya adalah lewat tulisan besar yang memenuhi layar bioskop; tepat seperti yang digunakan pada era silent film. Selain itu, The Artist juga semacam sebuah sindiran untuk dunia perfilman masa kini. Ketika sineas lain berlomba - lomba membuat film menggunakan teknologi 3D, visual effects yang tercanggih, dan meraup keuntungan sebesar - besarnya, Michel Hazanavicius malah membuat film dengan menggunakan metode perfilman yang melawan arus (baca : kuno). Ia  sukses menghadirkan sebuah film artistik yang benar - benar mengemukakan apa tujuan paling mendasar sebuah film dibuat dan memberikan persembahan sihir dunia perfilman yang tidak akan pernah termakan jaman, yakni : the magic of silent cinema.

Sebuah silent film sangat menuntut kinerja, bakat dan kreatifitas yang luar biasa dari para sutradara, pemusik dan aktor - aktris yang terlibat di film tersebut agar para penonton bisa menangkap feel, mood, dan cerita yang ingin disampaikan. Dan ketiga bidang tersebut berhasil bekerja sama dengan amat baik di film ini. Kinerja Michel yang merangkap sebagai sutradara sekaligus penulis naskah bisa terbilang sangat maksimal. Setiap adegan demi adegan diarahkannya dengan amat baik sehingga membuat para penonton dengan begitu mudah menangkap semua alur cerita dan maksud dari tiap adegannya tanpa harus berpikir / menerka - nerka dengan keras. Performa Jean Dujardin yang berperan sebagai George Valentin juga sangat luar biasa memikat. Setiap gerakan tubuhnya, mimik wajah, dan tatapan matanya sukses menyampaikan beratus - ratus dialog (tanpa harus mengucapkannya) dan gejolak emosi dalam diri George dengan sempurna, tidak berlebihan, dan sanggup menyentuh hati para penontonnya. Belum lagi dukungan dari wajahnya yang sangat klasik dan kharismanya yang memikat, semakin membuatnya begitu intim pada karakter George Valentin ini. Namun, performa-nya yang hebat tersebut ternyata masih bisa diimbangi oleh lawan mainnya, Berenice Bejo yang memerankan Peppy. Meski, ya, sesekali ia tertutupi oleh pesona Jean yang memang sangat mencuri perhatian, Berenice cukup sanggup berakting dengan percaya diri dan memunculkan chemistry yang baik dengan lawan mainnya tersebut.

Peran musik dalam Silent movie bisa dibilang jauh lebih penting dibandingkan film - film standard (yang berdialog) sebab apa jadinya apabila sebuah silent film tidak diiringi musik? Selain membutuhkan kemampuan akting para bintangnya, peran pemusik juga sangat diperlukan, karena secara tidak langsung, musik juga membantu menangkap mood serta menyampaikan cerita sekaligus sifat karakter kepada penonton. Dan sekali lagi, gubahan musik persembahan Ludovic Bource sungguh indah, sangat memorable, menyenangkan dan mampu mengambil perhatian para penonton sepenuhnya untuk ikut masuk ke dalam jalinan cerita. Beberapa musik yang paling saya sukai dari film ini adalah “Waltz for Peppy” dan “George Valentin”.

Overall, The Artist adalah sebuah masterpiece yang sangat powerful, di mana segala aspek yang terkandung dalam film ini bisa dibilang nyaris sempurna. Michel dengan begitu jeniusnya memadukan metode bercerita modern dengan metode classic dalam film ini dengan sangat rapi, sehingga The Artist tidak hanya terbatas untuk kalangan pecinta film saja, namun juga untuk semua kalangan masyarakat yang berpikiran terbuka, berpendidikan, dan mau menerima segala sesuatu yang baru. Bagi yang belum pernah menyaksikan silent film, inilah saat yang tepat dan sangat langka untuk bisa merasakan magic dan pengalaman menonton tak terlupakan di bioskop. Sekali lagi, apabila anda ingin merasakan semua yang telah saya rasakan dan sampaikan dalam review ini, anda harus menyaksikan film ini di bioskop. Jadi, duduklah dengan santai, konsentrasi, dan anda akan dibawa pada sebuah pengalaman menonton yang tidak kalah dengan sensasi ketika anda menyaksikan James Cameron’s Avatar. Very highly recommended. 

P.S : jika anda masih ragu - ragu, silahkan pasang headset anda dan saksikan trailer The Artist di bawah ini. The trailer itself is truly a masterpiece!


You Might Also Like

3 comments

  1. The Artist c'est magnifique!!!
    Hands down the best film of 2011...

    ReplyDelete
  2. Wah, film ini dapet respons positif dimana2... ckckckck...

    ReplyDelete
  3. Memang bagus kok bro. cepat ditonton! :D

    ReplyDelete

Just do it.